BABUJU Report,- Bongaya pada masa lalu merupakan nama sebuah desa di Makassar yang kini menjadi nama sebuah kecamatan. Dinamakan Bongaya karena di wilayah tersebut banyak ditumbuhi bunga-bunga dan kondisi alamnya yang asri. Di Bongaya lah tempat berlangsungnya sebuah perjanjian yang moumental antara Pemerintah kolonial Belanda dengan Sultan Hasanuddin yang dijuluki “Ayam Jantan Dari Timur”. Perjanjian Bongaya tercatat dalam sejarah Indonesia maupun sejarah dunia.
Namun dalam peta sejarah nasional perjanjian Bongaya hanya menampilkan kehebatan Sultan Hasanuddin, padahal dibalik lahirnya perjanjian Bongaya ada putera bangsa kelahiran Bima yang cukup berperan dan menjadi target operasi penangkapan Tentara Kolonial. Dia adalah Sultan Abdul Khair Sirajuddin, Sultan Bima Ke II, yang memang turut berjuang bersama Sultan Hasanuddin yang merupakan iparnya sendiri. Kiprah Abdul Khair Sirajuddin dalam perjuangannya melumpuhkan kekuatan VOC di Nusantara Timur ditunjukkannya dalam perang Bone, Perang Somba Opu, perang Buton dan perang Somba Opu II.
Perjanjian Bongaya yang ditanda tangani pada tahun 1667 itu terdiri dari 30 pasal. Terdapat 5 pasal berkaitan dengan Sultan Bima. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 9, 14, 15, 24 dan 28. Dari cuplikan pasal 9 jelas tertera bahwa orang –orang Makassar dilarang mengirimkan perahu-perahunya ke Bima, Solor dan Timor, Selayar, sebelah utara pulau Kalimantan, Mindanao (Philipina) atau di pulau-pulau sekitarnya. Siapa yang melanggar akan ditangkap dan disita barangnya. Pasal 14 secara tegas menyatakan dan mengancam Raja dan pembesar Gowa untuk tidak mencampuri urusan negeri Bima. Pasal ini juga secara tegas melarang Gowa untuk membantu Bima dan ini merupakan salah satu trik Kompeni untuk memecah belah Bima dengan Gowa.
Kemudian pada pasal 15 memerintahkan kepada Raja Gowa untuk menyerahkan Raja Bima dan menantunya Raja Dompu, Raja Sanggar, Raja Tambora beserta pengikutnya yang telah terbukti membunuh anggota VOC. Pasal 24 VOC mengatur persekutuan dagang, perjanjian perdamaian, persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di jalur perdagangan Nusantara Timur termasuk Bima. Sedangkan Pada pasal 28 VOC meng-ultimatum dalam sepuluh hari Raja Bima dan Karaeng Bonto Maranu harus ditangkap hidup atau mati.
Perjanjian itu ditentang oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin berserta Karaeng-Karaeng di Makassar. Mereka tetap pada pendirian untuk memerangi Kompeni sampai titik darah penghabisan. Pada malam menjelang perundingan Bongaya dilaksanakan, Sultan Bima menolak dan memilih untuk kembali ke Bima. Bagi Abdul Khair Sirajuddin, menandatangani perjanjian Bongaya sama dengan menyerahkan diri secara konyol dan menjadi tahanan Bui Kompeni. Dia dan Karaeng Bonto Maranu terus mengacaukan suasana di laut dengan menenggelamkan dan merampas isi kapal-kapal Kompeni.

Disamping kehebatannya dalam berperang, Abdul Khair Sirajuddin juga memiliki jiwa seni yang tinggi. Banyak sekali kreasi seni tradisional yang diciptakannya seperti Tari Lenggo, Kuntao dan lain-lain, termasuk upacara Adat Hanta UA PUA yang kini tetap dilaksanakan oleh Majelis Hadat Dana Mbojo.
Sejarahwan H. Abdullah Tayib, BA dalam bukunya Sejarah Bima Dana Mbojo menulis Persekutuan kerajaan Bima dengan Gowa patut tercatat dalam sejarah. Keterlibatan Abdul Khair Sirajuddin dengan Pabise adalah sumbangan berarti bagi Sultan Hasanuddin. Semua itu terbukti dan dikukuhkan oleh dokumen sejarah dan tersimpan dalam arsip sejarah lokal dan regional. Selama ini belum ada upaya untuk mengangkat kepermukaan. Secara jujur Sultan Abdul Khair Sirajuddin harus disejajarkan dengan Sultan Hasanuddin, Aru Palaka, Karaeng Bontomaranu dan antek VOC Cornelis Speelman. Namun Abdul Khair Sirajuddin terlupakan oleh sejarah Negeri nya sendiri. Abdul Khair Sirajuddin wafat pada tanggal 23 Juli 1682 dimakamkan di kuburan Gilipanda. (Sumber : Buku Sejarah Bima Dana Mbojo Oleh H. Abdullah Tayib, Peranan Kesultanan Bima Dalam Percaturan Sejarah Nusantara oleh M. Hilir Ismail, Sejarah Gowa dan berbagai sumber)
Disadur dari : http://alanmalingi.wordpress.com/2010/03/02/perjanjian-bongaya-dan-serpihan-sejarah-yang-tak-terungkap/