
Esek – Esek Di Wilayah Perbatasan
Haru biru modernisasi merambat hingga ke berbagai lini kehidupan di Kota Bima, perkembangan Informasi dan Komunikasi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial saat ini. hingga mempengaruhi ‘gaya’ pacaran para remaja diseputaran kota Bima. Tahun-tahun sebelumnya euforia TM (Talk Mania) dari beberapa operator seluler menjadi salah satu trend hingga subuh hari, kini jejaring sosial (FB, Twitter, dsb) menjadi nuansa baru. Gejala lain muncul akibat kejenuhan (mungkin), lokasi remang-remang pun menjadi target. Berikut hasil penelusuran Tim Investigator BABUJU.
Hiruk pikuk kehidupan perkotaan selalu menyuguhkan berbagai hal, mulai dari yang bersifat positif bagi kehidupan masa depan kita hingga ke hal-hal yang negatif bagi diri dan lingkungan kita. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa pra-syarat sosial perkotaan adalah kehidupan yang semi individualistik dan kehidupan masyarakat yang heterogen. Hal ini tidak jauh beda dengan karakter kehidupan sosial masyarakat Kota Bima saat ini.
Sehingga, kerap kali kita menemukan manusia yang bergaya hidup, berbudaya serta bertabiat yang berbeda dengan diri kita. Menurut Freud (Pakar Psikoanalisis) bahwa ketertarikan atas perbedaan itulah yang membuat libido manusia semakin tinggi dan gaya ikut-ikutan merajalela. Termasuk dalam tataran hal-hal yang baru meski tidak dipahami. Gejala inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor munculnya fenomena esek-esek dibeberapa lokasi di Kota Bima. Jika beberapa waktu yang lalu kita disuguhkan gambaran euforia esek-esek di Amahami, Danatraha serta Lawata. Kupasan tulisan kali ini, meyuguhkan fenomena esek-esek diareal perbatasan Mande – Rabangodu Selatan Kota Bima.
Kelurahan Mande adalah satu-satunya kelurahan di Kota Bima yang memiliki 4 kampus sekaligus diwilayahnya dari 8 Kampus yang ada di Kota Bima. Sehingga tidak heran, Mande merupakan daerah pusat para mahasiswa yang in the kost. Hampir 60 porsen masyarakat yang mendiami wilayah kelurahan Mande, adalah Mahasiswa. Anda bisa bayangkan, dari ke empat kampus yang ada, bila Mahasiswa aktif yang in the kost di seputaran wilayah Mande yang melingkupi wilayah Mande I, Mande II, Mande III serta lingkungan Baru Almuhajirin, tidak kurang dari lima ribu mahasiswa. Tentu hiruk pikuk remaja dan pemuda menjadi hal yang biasa ditengah merosotnya sikap sosial yang dimiliki saat ini. Individualistik disekitar kelurahan Mande menjadi suatu hal yang lumrah dan tidak terlalu dipertentangkan. Karena kondisi ego kedaerahan lah yang membuatnya demikian. Selain itu, sikap acuh tak acuh serta tidak terlalu mau tahu (Apatis) dengan lingkungan yang ada, membuat banyak pihak diwilayah Mande tidak ‘peka’ dengan kondisi yang ada.
Atas keapatisan tersebut, wilayah perbatasan Kelurahan Mande dan Rabangodu Selatan kerap dijadikan areal mesum. Lokasinya memang cukup strategis, selain karena jalan penghubung yang baru di hotmix, juga memang berada ditengah persawahan yang tentunya berada jauh dari pemukiman penduduk. Tentu esek-esek yang dimaksud bukan ditengah-tengah sawah. Namun, disetiap pojok sawah yang terdapat gubuk, tempat para petani beristirahat bila lelah. Nah, banyak kalangan muda yang notabene kebanyakan pelajar dan mahasiswa, menggunakan gubuk tersebut pada malam hari untuk berkencan.
Asyiknya lagi, mereka saling menghormati. Jika gubuk yang dituju sudah ada yang menempati terlebih dahulu, yang lain legowo untuk mencari gubuk lain yang tentunya masih kosong. Sepintas memang romantis, ditemani sepoi angin malam persawahan, dimanjakan dengan suara gemericik air irigasi serta carut marut suara binatang-binatang malam yang biasa hidup di persawahan. Dan yang paling mendukung adalah suasananya yang begitu temaran. Ber-cahaya-kan Bintang dan bulan redup, -bila bulan tidak sedang purnama.
Kondisi ini telah berlangsung selama 7 bulan terakhir. Menurut beberapa remaja maupun mahasiswa yang in the kost di Mande III kelurahan Mande, bahwa lokasi tersebut setiap malam pasti ramai dikunjungi oleh meraka yang pacaran. “Disini ramai mas, selain jarang sekali di razia, juga aman dari gangguan bising kendaraan” Ujar Opick salah seorang mahasiswa yang in the kost di Mande III.
Jika padi disawah semakin hijau, semakin ramai pula para muda-mudi yang datang ketempat ini, tidak ada warga sekitar yang bisa memastikan apa yang meraka lakukan pada malam-malam tersebut di Perbatasan dua kelurahan itu. Namun yang pasti, kesempatan gelap dan jauh dari pemukiman tersebut dipergunakan oleh remaja yang nongkrong ditempat tersebut untuk menikmati indahnnya ‘Berdua’ tanpa diganggu dan dilihat oleh siapapun.
Ketika Tim Investigator BABUJU menelusuri langsung secara dekat aktifitas esek-esek perbatasan ini memang menjumpai gubuk-gubuk sawah yang sudah ditempati oleh pasangan muda mudi yang sedang asyik pacaran. Keadaan ini lebih-lebih ketika bulan gelap. Disamping itu banyak pula yang mengambil tempat dideker serta dipematang sawah hanya untuk sekedar bincang-bincang mesra sambil berpelukan. Kondisi seperti ini, di wilayah ini bukanlah hal yang baru ataupun hal yang memalukan ditengah sikap apatis dan banyaknya public spare yang dikontrol hampir tiap saat oleh Trantib serta Pol PP kota Bima. Misalkan, Kuburan Raja atau dikenal dengan areal Dantaraha, Lawata, Amahami, jalur Gatot Soebroto depan STIKES Mataram, Wadumbolo serta Ni’u. Semua tidak terlewatkan oleh operasi trantib...
Namun di wilayah perbatasan ini, memang jarang menjadi target ‘intai’ aparat. Padahal, sudah berapa media dan sudah sekian berita ‘dilahirkan’ dari areal wilayah perbatasan ini. sebut saja, beberapa siswi SMP yang masih menggunakan seragam, kedapatan merokok beberapa bulan yang lalu, lokasi bolosnya siswa SMU maupun SMP serta lokasi mejengnya para hidung belang, juga ditengarai beberapa kali nampak dilokasi perbatasan ini.
Bagi warga mande III Kelurahan Mande yang berbatasan langsung dengan wilayah perbatasan ini, sebagian merasa risih, namun apa dikata, oknum pemuda dan remaja yang melakukan esek-esek dilokasi itu bukanlah warga Mande, namun warga lain yang cari tempat ‘penuntasan nikmat’ disekitar lokasi tersebut. Selain itu, 70 porsen warga Mande adalah Petani, sehingga untuk mengontrol dan berbuat dalam konteks ikut-ikutan sangat minim. Karena Petani lebih memilih istrahat lebih awal dimalam hari ketimbang yang lainnya.
Kembali ke persoalan awal. Bahwa kondisi ini membutuhkan sikap dan cara kita semua dalam menyikapi hal-hal yang yang demikian. Karena sesungguhnya Tingginya Ilmu serta Derajat manusia akan sia-sia hanya karena sepercik ‘noda’ moral. Bukankah saat ini Agama sudah menjadi komersil dan menjadi alat pembenaran diri? Maka untuk mengembalikan makna ber-Agama yang sesungguhnya, penggugahan moralitas dibutuhkan. Dan hal ini merupakan kerja kolektifitas seluruh lapisan serta unsur masyarakat.
semoga para oknum Remaja yang membiasakan esek-esek diwilayah perbatasan itu bukan sanak saudara pembaca sekalian. Sebab Yahudi tetap komit dengan sikapnya “Boleh kalian beragama sesuai dengan keyakinan kalian, namun pola pikir dan prilaku harus ber’kiblat’ kepada kami”. Maka, selalu lah waspada atas ancaman Peradaban diatas tangan-tangan ‘generasi tanggung’ (Liputan: Rangga/Fatwa)