[caption id="attachment_1352" align="alignleft" width="278" caption="Wakil Bupati Bima, Drs. H. Syafrudin H.M.Nur, M.Pd"]
[/caption]
BABUJU Report, Garda Asakota (GA),- Pemekaran wilayah diyakini sebagian pihak menjadi salah satu alternative bagi masyarakat untuk mempercepat proses penyejahteraan diri. Sejak di implementasikannya UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 tahun 2004, berimplikasi terhadap munculnya berbagai keinginan masyarakat di daerah untuk memekarkan diri. Salah satunya adalah terbentuknya Pemerintah Kota Bima yang dimekarkan dari Pemerintahan induk yakni Pemerintah Kabupaten Bima sekitar tahun 2002 silam melalui UU Nomor 13 tahun 2002.
Berbagai ekpektasi rakyat untuk hidup lebih sejahtera dari masa-masa sebelumnya mulai bermunculan. Pun, diikuti dengan lonjakan pelaksanaan berbagai program dan terobosan pembangunan sebagai sebuah wujud pemenuhan aspek kebutuhan rakyat dalam berbagai bidang guna perbaikan taraf kehidupan masyarakatnya. Hanya saja, dibalik berbagai upaya dua pemerintahan ini (Pemkot Bima dan Pemkab Bima) dalam melakukan terobosan pembangunan bagi masyarakatnya, masih terselip satu persoalan krusial yang menggelayut diantara keduanya. Tentu perlu upaya segera untuk diselesaikan secara bersama, yakni permasalahan menyangkut pemindahan Ibukota Kabupaten Bima ke wilayah Kecamatan Woha serta pembagian dan penyerahan asset daerah yang masih dikuasai oleh Kabupaten Induk. Padahal jika kita merunut pada Perda Kab Bima nomor 5 Tahun 2007, menjelaskan bahwa pemindahan Pusat Pemerintahan Kabupaten Bima harus segera dilaksanakan. Belum lagi bila kita mengingat kembali Janji Politik seluruh Calon dalam Pemilukada beberapa waktu yang lalu, terkait Ibukota Kabupaten Bima.
Wakil Bupati Bima, Drs. HM. Syafruddin HM. Nur, M. Pd, kepada wartawan beberapa waktu yang lalu mengungkapkan komitmen pemerintahannya dalam menyelesaikan dua persoalan yang dihadapi saat ini. Tahun ini, menurutnya, Pemkab Bima telah mengalokasikan dana sebesar Rp 9,7 Milyar untuk membangun Kantor Pemerintah Kabupaten Bima di wilayah Kecamatan Woha. Sekitar Oktober-November mendatang akan segera dilaksanakan pembangunan Kantor Pemerintahan di wilayah Woha. “Dana Rp 9,7 M ini baru untuk penataan lingkungan dan pembangunan beberapa bagian perkantoran. Sementara untuk pembangunan kantor dinas dan jawatan akan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2015,” jelas pria yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bima ini.
Tidak tanggung-tanggung, luas areal perkantoran yang akan dipergunakan untuk membangun kantor Pemerintah Kabupaten Bima di Kecamatan Woha adalah seluas lebih kurang 60 hektar dengan total kebutuhan anggaran untuk pembangunan kantor secara keseluruhannya adalah sebesar Rp 65 Milyar dan ditargetkan tuntas sekitar tahun 2015 mendatang. “Pola yang dipergunakan adalah dengan menggunakan system multy-years atau perhitungan tahun jamak dengan artian pelaksanaan pembangunan ini tetap akan dianggarkan didalam APBD Kabupaten Bima secara bertahap hingga tuntas pada tahun 2015,” cetusnya gamblang.
Sementara berkaitan dengan aspek penyelesaian asset yang harus diserahkan kepada Pemerintah Kota Bima sesuai dengan amanat UU Nomor 13 tahun 2002, menurut Wabup, juga menjadi salah satu agenda yang wajib dituntaskan pihaknya. Hanya saja, pihaknya menyatakan bahwa semua pihak harus bisa memaklumi bahwa hingga saat sekarang ini Pemkab Bima masih belum menuntaskan pembangunan kantor Pemkab Bima di Kecamatan Woha. “Kalau kita semua sudah pindah dan menempati kantor baru di Kecamatan Woha. Jelas akan ada pembicaraan formal diantara kedua pemerintahan yang ada untuk menyelesaikan permasalahan ini secara baik seraya kita semua tetap tunduk pada aturan-aturan yang ada. Hanya saja saat sekarang perlu ada perasaan memaklumi dengan keadaan yang ada. Apalagi muara akhir dari apa yang kita semua lakukan ini adalah membangun masyarakat Bima ke arah yang lebih baik,” terangnya lugas.
Otonomi daerah memang menjadi alternative utama dalam konsep pembangunan masyarakat di daerah. Namun, otonomi daerah pun tidak boleh menjadikan pemerintahan induk menjadi tidak mampu lagi melaksanakan otonomi daerahnya sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 129 tahun 2000. Apalagi berdasarkan ketentuan pasal 2 PP 129 tahun 2000, tujuan pembentukan dan pemekaran wilayah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, percepatan pertumbuhan kehidupan berdemokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
“Maka saling memahami dan memaklumi keterbatasan masing-masing disertai dengan upaya dan optimalisasi memenuhi kekurangan yang ada menjadi kata kunci yang harus dipegang antara induk dan anak. Apalagi dalam perspektif genetika social, induk dan anak adalah satu mata rantai yang tak terpisahkan. Lalu kenapa tidak bisa saling memahami?,” cetus salah seorang pemerhati. (GA. 211)

BABUJU Report, Garda Asakota (GA),- Pemekaran wilayah diyakini sebagian pihak menjadi salah satu alternative bagi masyarakat untuk mempercepat proses penyejahteraan diri. Sejak di implementasikannya UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 tahun 2004, berimplikasi terhadap munculnya berbagai keinginan masyarakat di daerah untuk memekarkan diri. Salah satunya adalah terbentuknya Pemerintah Kota Bima yang dimekarkan dari Pemerintahan induk yakni Pemerintah Kabupaten Bima sekitar tahun 2002 silam melalui UU Nomor 13 tahun 2002.
Berbagai ekpektasi rakyat untuk hidup lebih sejahtera dari masa-masa sebelumnya mulai bermunculan. Pun, diikuti dengan lonjakan pelaksanaan berbagai program dan terobosan pembangunan sebagai sebuah wujud pemenuhan aspek kebutuhan rakyat dalam berbagai bidang guna perbaikan taraf kehidupan masyarakatnya. Hanya saja, dibalik berbagai upaya dua pemerintahan ini (Pemkot Bima dan Pemkab Bima) dalam melakukan terobosan pembangunan bagi masyarakatnya, masih terselip satu persoalan krusial yang menggelayut diantara keduanya. Tentu perlu upaya segera untuk diselesaikan secara bersama, yakni permasalahan menyangkut pemindahan Ibukota Kabupaten Bima ke wilayah Kecamatan Woha serta pembagian dan penyerahan asset daerah yang masih dikuasai oleh Kabupaten Induk. Padahal jika kita merunut pada Perda Kab Bima nomor 5 Tahun 2007, menjelaskan bahwa pemindahan Pusat Pemerintahan Kabupaten Bima harus segera dilaksanakan. Belum lagi bila kita mengingat kembali Janji Politik seluruh Calon dalam Pemilukada beberapa waktu yang lalu, terkait Ibukota Kabupaten Bima.
Wakil Bupati Bima, Drs. HM. Syafruddin HM. Nur, M. Pd, kepada wartawan beberapa waktu yang lalu mengungkapkan komitmen pemerintahannya dalam menyelesaikan dua persoalan yang dihadapi saat ini. Tahun ini, menurutnya, Pemkab Bima telah mengalokasikan dana sebesar Rp 9,7 Milyar untuk membangun Kantor Pemerintah Kabupaten Bima di wilayah Kecamatan Woha. Sekitar Oktober-November mendatang akan segera dilaksanakan pembangunan Kantor Pemerintahan di wilayah Woha. “Dana Rp 9,7 M ini baru untuk penataan lingkungan dan pembangunan beberapa bagian perkantoran. Sementara untuk pembangunan kantor dinas dan jawatan akan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2015,” jelas pria yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bima ini.
Tidak tanggung-tanggung, luas areal perkantoran yang akan dipergunakan untuk membangun kantor Pemerintah Kabupaten Bima di Kecamatan Woha adalah seluas lebih kurang 60 hektar dengan total kebutuhan anggaran untuk pembangunan kantor secara keseluruhannya adalah sebesar Rp 65 Milyar dan ditargetkan tuntas sekitar tahun 2015 mendatang. “Pola yang dipergunakan adalah dengan menggunakan system multy-years atau perhitungan tahun jamak dengan artian pelaksanaan pembangunan ini tetap akan dianggarkan didalam APBD Kabupaten Bima secara bertahap hingga tuntas pada tahun 2015,” cetusnya gamblang.
Sementara berkaitan dengan aspek penyelesaian asset yang harus diserahkan kepada Pemerintah Kota Bima sesuai dengan amanat UU Nomor 13 tahun 2002, menurut Wabup, juga menjadi salah satu agenda yang wajib dituntaskan pihaknya. Hanya saja, pihaknya menyatakan bahwa semua pihak harus bisa memaklumi bahwa hingga saat sekarang ini Pemkab Bima masih belum menuntaskan pembangunan kantor Pemkab Bima di Kecamatan Woha. “Kalau kita semua sudah pindah dan menempati kantor baru di Kecamatan Woha. Jelas akan ada pembicaraan formal diantara kedua pemerintahan yang ada untuk menyelesaikan permasalahan ini secara baik seraya kita semua tetap tunduk pada aturan-aturan yang ada. Hanya saja saat sekarang perlu ada perasaan memaklumi dengan keadaan yang ada. Apalagi muara akhir dari apa yang kita semua lakukan ini adalah membangun masyarakat Bima ke arah yang lebih baik,” terangnya lugas.
Otonomi daerah memang menjadi alternative utama dalam konsep pembangunan masyarakat di daerah. Namun, otonomi daerah pun tidak boleh menjadikan pemerintahan induk menjadi tidak mampu lagi melaksanakan otonomi daerahnya sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 129 tahun 2000. Apalagi berdasarkan ketentuan pasal 2 PP 129 tahun 2000, tujuan pembentukan dan pemekaran wilayah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, percepatan pertumbuhan kehidupan berdemokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
“Maka saling memahami dan memaklumi keterbatasan masing-masing disertai dengan upaya dan optimalisasi memenuhi kekurangan yang ada menjadi kata kunci yang harus dipegang antara induk dan anak. Apalagi dalam perspektif genetika social, induk dan anak adalah satu mata rantai yang tak terpisahkan. Lalu kenapa tidak bisa saling memahami?,” cetus salah seorang pemerhati. (GA. 211)