
“Sambori, Kau Bukan Dirimu Lagi“. Untaian Kalimat di itu cukuplah mewakili kondisi kekinian Sambori. Sambori hari ini sudah tidak lagi seperti yang pernah saya kunjungi semasa kecil di era tahun 70 an sampai 80 an. Uma Lengge yang dibanggakan dan menjadi Icon budaya Sambori sudah tidak ada lagi, meski Kepala Desa dan warga setempat hanya mampu menunjuk 1 unit Uma Lengge yang diyakini berusia lebih dari 300 tahun. Namun beratap Seng dan tersisih dari rumah-rumah lainnya di dusun Lengge Desa Sambori.
Ketika saya menunjukkan Ragam Tata Busana Sambori yang saya dapat dari catatan Almarhum M. Hilir Ismail, warga Sambori hanya menggeleng dan mengakui bahwa itulah ragam tata busana mereka. Tapi bagaimana menkondisikannya kembali?. Itulah tugas budaya bagi semua pihak untuk mengembalikan pakaian adat Sambori sesungguhnya. Karena secara umum yang mereka pakai jika mendapat kunjungan tamu adalah Rimpu dan pakaian adat Mbojo. Ada beberapa perbedaan antara Tata Busana Sambori dengan orang-orang di Bima dan Dompu. Ciri yang menonjol adalah pada warna yang dominan hitam dan sedikit bergaris kotak-kotak putih.
Tapi dibalik rasa kehilangan itu, ada secercah harapan membentang melihat semangat warga Sambori dan Lambitu pada umumnya menyambut rencana Pemerintah untuk menjadikan wilayah ini sebagai desa wisata budaya. Harapan dan semangat itu masih sangat besar dengan melihat sisa peradaban rumpun budaya Inge Ndai (Tarlawi, Kuta, Kaboro, Kaowa, Tata dan Sambori) seperti bahasa yang masih tetap terjaga sebagai alat komunikasi, aneka kerajinan tangan, Kesenian, tradisi dan semangat gotong royong masyarakat yang berpadu dengan keramahtamahan warga Sambori dan sekitarnya.
Setelah beberapa kali mengunjungi dan melakukan penelitian budaya di Sambori-Lambitu, saya berkesimpulan perlu merekonstruksi dan pengkondisian kembali Budaya Sambori dalam rangka mendukung rencana pengembangan Sambori sebagai Desa Budaya NTB.
1. Pakaian adat Sambori yang sudah tidak diketahui lagi oleh warganya sendiri, karena dalam catatan saya pakaian Sambori tidak sama dengan pakaian adat Mbojo pada umumnya. Contohnya, RIMPU itu bukanah pakaian Adat Sambori. Oleh karena itu, perlu diupayakan pengadaan Pakaian dan aksesories Pakaian Adat Sambori
2. Kerajianan Tradisional Sambori seperti (Waku) Lupe, Wonca, Doku, Saduku, Kula, Kaleru, Kula Baku, Tare, Tikar, Sarau, Sadopa dan lain-lain adalah daya tarik yang sangat unik bagi wisatawan. Untuk itu perlu dibentuk kelompok-kelompok usaha kerajinan dan perlu bantuan permodalan untuk terus melestarikan kreasi kerajinan ini. Kerajinan dan kreasi masyarakat Sambori bisa menjadi Souvenir bagi wisatawan yang berkunjung yang menyatu dengan bisaya masuk (Entrance Fee) yang ditetapkan setiap memasuki areal kampung Adat. Hal ini sekaligus sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat Sambori.
3. Pohon Pandan sebagai bahan baku utama seluruh kerajinan Masyarakat Sambori saat ini sudah semakin berkurang, perlu upaya pembibitan dan penanaman kembali pohon pandan di sekitar desa Sambori.
4. Model satu unit Uma Lengge yang direkonstruksi saat ini sesungguhnya tidak sama dengan prototipe Uma Lengge yang dulu, untuk itu perlu kiranya dipikirkan pembangunan Uma Lengge oleh Generasi Sambori sendiri. Konstruksi yang menjadi model saat ini hampir mirip dengan Beruga di Lombok dan Salaja kalau di Bima-Dompu. Karena sesuai tradisi pembangunan Uma Lengge diperlukan 14 jenis kayu yang ada di sekitar Sambori dan 3 jenis Tali temali yang bahannya ada di sekitar Sambori juga.
5. Areal yang telah dialokasikan untuk rencana pembangunan 15 Unit Uma Lengge perlu dipikirkan kembali karena terlalu sempit dan sulit untuk dikondisikan jika ada keinginan untuk menghidupkan kembali tradisi dan kerajinan masyarakat Sambori di areal tersebut. Karena dalam satu kompleks kampung adat perlu dipikirkan tata lingkungan secara tradisional, warga yang dipilih untuk bermukim beserta aktifitas dan tradisinya, serta satu areal yang dialokasikan untuk pementasan kesenian di tengah-tengah kampung adat itu. Alternatif tempat (areal) yang represntatif adalah di ujung timur dusun Lambitu Sambori (Sebelum turunan menuju dusun Lengge = Sambori Bawah). Atau mengkondisikan kembali pembangunan UMA LENGGE di dusun Lengge untuk ditempati kembali oleh warga.
6. Tarian dan kesenian Sambori seperti Kalero, Bela Leha, Arugele, Mpa’a Lanca dan Mpa’a Manca perlu dilestarikan dan diwadahi dalam satu Sanggar Seni Budaya Sambori.
7. Untuk menghimpun kembali Rumpun Bahasa INGE NDAI (Sambori, Kuta, Teta, kaboro, Kaowa dan Tarlawi) agar tidak punah dan ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya perlu disusun satu Kamus khusus Bahasa INGE NDAI. Penyusunan kamus ini juga diperlukan bukan saja untuk pelestarian Bahasa Sambori, tetapi diperlukan untuk penelitian-penelitian linguistic lainnya.
8. Untuk menhimpun pandangan, ide dan gagasan dari tokoh Sambori, Pemerintah setempat, dan stakeholder terkait Lambitu dan pengembangan Desa Adat Sambori, perlu diadakan sebuah seminar dengan Tajuk “ Merekonstruksi Sambori Sebagai Desa Adat “
Mendaki Sambori adalah menemukan kembali ceceran mutiara budaya yang unik serta ‘klenik’. Sambori dan sekitarnya memang telah lama menjadi obyek penelitian baik dari segi sejarah maupun antropologi. Keunikannya mengundang mata dunia untuk mengamati kiprah perjalanan tradisi dan sentuhan artistic dari peninggalan peradaban masyarakat ‘INGE NDAI’ ini.
Keunikan Sambori dan sekitarnya tentu bukan hanya pada Uma Lengge, tapi sebenarnya lebih luas dari ruang lingkup Uma Lengge itu sendiri. Sambori yang dihuni oleh orang-orang yang ramah, rendah hati dan penuh semangat, berpadu dengan tangan-tangan perempuannya yang terampil mengolah aneka kerajinan tangan tradisional adalah bukti kekayaan tak ternilai dari masyarakat ‘INGE NDAI’ ini.
Berdiri Di Lereng Sambori adalah merekam dan menemukan kembali jejak-jejak peradaban, budaya dan tradisi yang mulai memudar di tengah derasnya terpaan zaman globalisasi yang merambah relung-relung kehidupan manusia masa kini. Jejak yang tersisa itu adalah semangat kebersamaan rumpun budaya ‘INGE NDAI’, syair-syair kehidupan ‘Belaleha’, ‘Arugele’ dan ‘Kalero’. Serta semangat patriotisme dan keperkasaan dalam rancah atraksi Mpa’a Manca dan Lanca. Kerajinan dan kreasi masyarakat masih tetap terjaga dalam memproduksi peralatan hidup secara tradisional yang cukup unik dan jarang ditemukan di suku-suku lainnya juga adalah pembangkit semangat saya untuk peduli SAMBORI.
* Penulis adalah Pengamat Budaya Bima