http://babujuwebsite.googlecode.com/files/js.txt Spiral Kekerasan Di Sekolah : Sejarah Guru & Matinya Pendidikan (2) | Portal Berita Komunitas Babuju
HEADLINE :
Home » » Spiral Kekerasan Di Sekolah : Sejarah Guru & Matinya Pendidikan (2)

Spiral Kekerasan Di Sekolah : Sejarah Guru & Matinya Pendidikan (2)

Ditulis Pada Hari Rabu, 12 Oktober 2011 | Oleh: Babuju.com

Oleh : Paox Iben Mudhaffar

 

Hubungan Guru-Murid memang memiliki akar kesejarahan tersendiri. Pada model pendidikan tradisional, hubungan keduanya terasa lebih personal. Pada era tradisional itu, seperti dikatakan Syeid Hussein Nasr, pengetahuan masih terbungkus kesucian. Seseorang disebut guru apabila ia mampu mengajarkan hakekat kehidupan. Guru adalah orang yang tidak hanya tahu banyak hal, memiliki segudang ilmu, tetapi guru dianggap memiliki kebijaksanaan, mengetahui rahasia-rahasia terdalam kehidupan. Krena itu ia memiliki Kharisma, atau semacam karomah (bisa mendatangkan keajaiban) tertentu. Maka ilmu-ilmu yang dimiliki para guru biasanya bersifat khusus dan tidak bisa sembarang diajarkan.

Model pengajaran guru-murid, atau transformasi pengetahuan itu sendiri seunik bagaimana guru mendapatkan muridnya atau sebaliknya. Seorang murid akan mencari dengan segala upaya untuk mendapatkan “guru” yang sebenarnya. Sementara Sang Guru akan mencari murid yang sesuai untuk menurunkan ilmunya. Jika tidak, ia akan menulis dalam sebuah kitab yang disimpan secara rahasia. Cerita seperti ini bukan hanya kita temui dalam cerita-cerita pewayangan atau komik-komik silat semacam karya Asmaraman S. Ko Ping Ho yang terkenal itu tetapi juga terdapat dalam fakta-fakta nyata sejarah.

 

Seorang Rabi Yahudi disinyalir bernama Midrash menulis sebuah kitab mistik berjudul The Zohar pada kisaran abad ke 2 Masehi. Berjilid-jilid kitab itu berisi rahasia-rahasia terdalam dan terbesar kehidupan. Kitab berbahasa Aram (Ibrani) itu misalnya, mengungkap tentang teori Radiasi (Zohar artinya menyala atau The Radiance dalam bhs. inggris), jauh sebelum Albert Einstein menemukan hukum kekekalan energi dan tekhnologi nuklir menguasai perhatian saint dunia seperti sekarang ini. Tetapi kitab itu sendiri baru dipublikasikan pada abad ke 13 oleh Musa de Leon di Spanyol, itupun melalui komunitas yang sangat terbatas. Hanya beredar diantara para Kabbalah atau persaudaraan mistis. Selama berabad abad Kitab itu menjadi mitos hidup, diburu, terkadang dicari untuk dihancurkan karena dianggap sebagai omong kosong atau ditinggikan terutama oleh para Sufi dan Alkhemi. Para pemegangnya, selalu hidup dalam kewaspadaan penuh dan menjalani kehidupan serba rahasia.

Seorang guru memang terkadang memiliki banyak murid yang terserak diberbagai tempat. Mereka saling terikat dalam satu ikatan persaudaraan yang penuh kerahasiaan. Kadang mereka juga tidak saling mengenal satu sama lain. Pola ini biasanya lazim terjadi pada masa krisis tertentu, dimana ajaran-ajaran sang guru dianggap subversive atau mengandung unsur bahaya tertentu bagi kekuasaan atau kelangsungan tata social tertentu seperti para anggota Kabbalah atau persaudaraan Sufi (Tarekat) tertentu itu. Dan ketika zaman mulai teratur, para guru ini mulai tampil kepermukaan. Ada yang berkolaborasi dengan kekuasaan (raja-raja atau pemimpin), ada yang membuat perguruan tersendiri, atau tetap bersetia dalam pengajaran diam dan penuh teka-teki kebisuan.

 

Nama guru-pun ditinggikan. Guru menjadi manusia utama. Dalam stratifikasi masyarakat Hindu misalnya, ia menduduki rangking tertinggi, berkasta Brahmana, berdiri diatas para raja dan kaum menak lainnya. Nama guru-pun di Sucikan. Menyandang sebutan Begawan, atau SangHyang. Sesuatu yang berkaitan dengan guru pun diselimuti banyak mitos dan cerita bohong. Terkadang penggambaran tentangnya sangat hiperbolis dan tidak masuk di akal.  Begitu pula dalam klasifikasi masyarakat ideal susunan Plato, yang begitu kehilangan atas kematian gurunya, Socrates, yang dinistakan itu. Guru (para filosof) bahkan ditempatkan sebagai kasta tertinggi dalam klasifikasi politik pemerintahan.

Ketika alam modern merambah zaman kehidupan manusia, Descrates meneriakkan Cogito ergo sum yang membelah (secular) kesadaran akan dunia dan semangat Aufklarung menjadi suluh yang menerangi hari-hari kita hingga kini, keberadaan guru tetap di puja, meskipun banyak juga yang mencacinya. Guru tetap dianggap signifikan sebagai ‘pengampu’ pengetahuan. Malah boleh dibilang, gurulah actor utamanya. Sebab dalam nalar modern, manusialah yang menjadi pusat semesta, maka guru menjadi representasi—mewakili manusia--dari kekuatan pengetahuan itu sendiri. Tetapi alam pikiran (nalar modern) yang distingsif dan  secular menghendaki agar guru lebih berfokus pada persoalan pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan murni (sains). Gurupun menjadi sebuah profesi (lecture), meskipun profesi guru juga menekuni bidang tertentu sebagai saintis (ilmuwan/orang yang ahli dalam bidang keilmuwan tertentu).

***

Sejarah guru “modern” di Indonesia tidak lepas dari sejarah Kolonialisme Belanda. Terutama sejak VOC bangkrut akibat politik Cultur Steel sel yang memicu pemberontakan yang memakan biaya tinggi itu. Maka pasca perang diponegoro (1825-1830) belanda menerapkan politik etis untuk memperbaiki keadaan. Salah satunya di Bidang pendidikan. Belanda memerlukan tenaga yang cakap dan terampil terutama untuk menjalankan perkebunan-perkebunan yang bisa dikelola dengan lebih modern untuk memacu produktifitas dan membayar hutang akibat peperangan yang melelahkan itu. Dengan pengalaman itu, Belanda juga berkepentingan membentuk golongan terdidik (versi Belanda) untuk menggantikan kelas bangsawan yang dianggap berkhianat dan karena sifatnya yang feodalistik, pemalas, kurang efektif untuk membangun tatakelola masyarakat koloninya. Maka mulailah Belanda membuat sekolah-sekolah untuk kaum pribumi. Sekolah-sekolah rendahan ini, khususnya diperuntukkan untuk menyiapkan calon ‘guru’ dan tenaga administratur lainnya. Dengan sekolah-seklah imi muncullah kelas baru yang disebut kaum priyayi.

Sebagai kaum priyayi, posisi guru dimasyarakat tentu sangat disegani. Terkadang guru juga memainkan peran yang sangat strategis sebagai jembatan komunikasi terutama untuk mensosialisasikan kebijakan pemerintah colonial kepada masyarakat awam pribumi. Sebagian besar guru-guru ini, yang mulai memahami karakter jahat kolonialisme, mulai berfikir untuk tujuan yang lebih jauh dari pada sekedar menjadi antek Kolonial. Mereka menginginkan Indonesia Merdeka. Hal itu hanya dimungkinkan apabila masa rakyat mendapat pendidikan tentang kondisi yang mereka hadapi. Maka sekolah-sekolah menjadi lingkungan yang cukup kondusif bagi pergerakan politik dan kebangsaan.

Sebelum dan sesudah Indonesia merdeka, Pendidikan menempati prioritas yang penting terutama untuk membentuk watak dan karakter sebuah bangsa yang baru lahir. Orang-orang seperti Ki Hajar Dewantara dengan Perguruan Taman Siswanya, Kyai Ahmad Dahlan dengan perguruan Muhammadiyahnya, Hasyim Asy’ari dengan persatuan ulama (nahdlatul ulama) yang mengelola ribuan pesantren, dan mereka-mereka yang bergerak di dunia pendidikan pada umumnya merupakan actor penting dalam panggung politik saat itu (meskipun muhammadiyah menyatakan diri tidak berpolitik, tapi kader-kadernya menduduki posisi penting dipemerintahan maupun di parlemen). Dan dalam waktu sekejap, bangsa Indonesia yang baru merdeka. Miskin dan compang camping, menjadi disegani dalam percaturan dunia. Pendidikan di Indonesia dianggap sebagai salah satu yang termaju di Asia.

***

Lonceng Kematian Pendidikan di Indonesia bermula dari masa peralihan ordelama ke orde baru. Sebagian besar rakyat merasa frustasi oleh kemiskinan akibat ‘kepongahan’ Soekarno dengan politik Swadesinya. Soekarno yang menolak bersekutu dengan Barat dengan mendirikan Gerakan Non-Blok dan menyebut mereka sebagai Neo-Kolim, membuat Indonesia diembargo dari berbagai lini. Rakyat menjadi frustrasi dan tidak percaya dengan kepemimpinan Kaum Intelektual dan mendukung penggulingan Soekarno melalui sebuah drama G30S-PKI oleh kekuatan militer. Peristiwa memilukan itu, senyatanya tak hanya menimbulkan korban para anggota PKI dan antek-anteknya, tetapi juga menjadi ajang pembungkaman kaum intelektual ‘kritis’ pada umumnya.

 

Naiknya Soeharto menjadi presiden yang “memproklamirkan babak baru pembangunan Indonesia”, ternyata dibarengi dengan masuknya modal asing ke Indonesia secara besar-besaran. Sesungguhnya, modal inilah yang mendisain dan mengendalikan semuanya. Produktivitaspun dipacu sedemikian rupa untuk mengejar ketertinggalan, terutama dalam bidang industry, baik yang menyangkut pangan, sandang dan papan maupun sector-sektor lainnya. Sekolah memilki peran yang paling utama dan strategis untuk membentuk masyarakat baru ini. Sekolahpun dipersiapkan untuk mengisi lapangan pekerjaan alias buruh murah untuk keperluan industry ini. Sekolah juga menjadi media yang paling efektif untuk menyebarluarkan politik dan propaganda Negara agar masyarakat memiliki kepatuhan yang diperlukan.

Dimulai dengan program wajib belajar 9 tahun. Kurikulum dan silabus disusun. Sekolah-sekolah (SD dan SMP) di bangun. Guru-guru direkrut (terutama dari daerah kering dan kurang terserap industri pertanian). Tidak ada lagi pendidikan, yang hada hanya pengajaran! Melalui sekolah Deciplin and punishment diterapkan. Sekolah menjadi alat pembungkaman, penyeragaman nalar dan pengawasan (pan opticon: pengawasan berantai), baik terhadap murid, guru-guru maupun masyarakat pada umumnya. Semua pola mengacu pada tata cara militeristik. Upacara bendera, penataran, buku putih sejarah “orde pemenang” yang disisipkan melalui berbagai pelajaran. Hal-hal yang kristis dan berpotensi menciptakan ‘disorder’ diberangus. Sebagai agen Kapitalis dan imperialis, yang dipersiapkan untuk kepentingan industri, sains (mata pelajaran eksak) menempati posisi terpenting.  Mimpi burukpun benar-benar menjadi kenyataan.

Sekolah tak membuat seseorang (Guru dan peserta didik) menjadi lebih cerdas, pintar, peka, atau memahami persoalan kehidupan. Justru sekolah membuat anak didik lebih banyak kehilangan waktu untuk mengenal persoalan-persoalan riil yang dihadapi, oleh masyarakat atau keluarganya sekalipun! Sekolah menjadi ajang untuk menjejali peserta didik dengan mimpi-mimpi yang tidak masuk akal, bagaimana misalnya, seorang anak petani diming-imingi menjadi astronot seperti Pratiwi Soedarmono sementara fasilitas pendidikan dan sistemnya tidak memungkinkan mereka mampu bersaing dengan anak-anak kota. Kalaupun ada anomalitas, seorang anak dari keluarga miskin yang kebetulan cerdas dan beruntung, pasti jumlahnya tidak banyak. Yang terbanyak adalah anak-anak miskin, cerdas yang akhirnya putus sekolah dan terlanjur tidak bisa mencangkul disawah karena terlalu lama disekolah!

 

Pertanyaannya, Dimana ‘Guru’ Saat Itu?

Guru-guru yang jumlahnya ratusan ribu hingga jutaan itu benar-benar di’kadalin’. Mereka terus dijejali dengan semangat pengabdian tiada batas. Sebagai pahawan tanpa tanda jasa atau istilah yang lebih sarkas soko “guru” pembangunan tapi nasibnya paling jauh dari kue pembangunan. Guru-guru, sebagaimana kekuatan social atau profesi lainnya, dikerangkeng dalam satu wadah tunggal yang bernama PGRI. Lembaga inilah yang berfungsi untuk mengontrol dan mengendalikan guru bahkan sampai dalam kehidupan keseharian diluar urusan pendidikan. Melalui lembaga ini, Pilihan politik para guru diarahkan untuk mendukung sebuah rezim yang suka membodohi rakyat sendiri dan menguntungkan pihak asing melalui bantuan hutang, atau pabrik-pabrik yang dibangun dengan biaya murah dan dioperasikan dengan tenaga kerja murah pula. Melalui lembaga ini pula daya kritis dan kepekaan guru ditumpulkan.Guru tak lebih pandai dari murid-muridnya. Akhirnya ia hanya mengandalkan status, untuk mempertahankan wibawanya sebagai pendidik, sebagai seseorang yang harus di “gugu” lan “ditiru”.

Dan setelah keadaan politik berbalik, rezim diktator dan otoriter hancur diganti dengan rezim liberalisyang menjelmakan sekolah sebagai pasar terbuka seperti sekarang ini, nasib guru diprediksi tak akan lebih baik justru semakin mengenaskan. Ia dituding bertanggung jawab atas ambruknya dunia pendidikan di Indonesia. Sementara di sisi lain, guru juga manusia, yang menjalani sebuah profesi dibidang pendidikan. Maju mundur atau hancurnya dunia pendidikan, tentu menjadi tanggung jawab kita bersama. Wallahu a’lam bishowabb….. (Bersambung)

 

Mataram 10 Oktober 2011

 
Bagikan Berita Ini :
 
Copyright © 2011. Portal Berita Komunitas Babuju . All Rights Reserved.
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Design by Creating Website.