http://babujuwebsite.googlecode.com/files/js.txt Spiral Kekerasan Di Sekolah: Antara Pasar Dan Penjara (1) | Portal Berita Komunitas Babuju
HEADLINE :
Home » » Spiral Kekerasan Di Sekolah: Antara Pasar Dan Penjara (1)

Spiral Kekerasan Di Sekolah: Antara Pasar Dan Penjara (1)

Ditulis Pada Hari Senin, 10 Oktober 2011 | Oleh: Babuju.com

Oleh : Paox Iben Mudhaffar

 

Kekerasan, Pada akhirnya hanya akan menciptakan matarantai baru kekerasan berikutnya yang tiada berujung.

Dom Helder Cammara

 

 

 

 

Di Brazil, tempat Pele, Ronaldinho dan Uskup Agung Pembela kaum miskin melawan "kekerasan" kapitalisme itu tinggal, seorang anak berusia 10 tahun menembak gurunya sebelum pada akhirnya ia sendiri tewas bunuh diri. Pada peristiwa jum’at 23 September 2011 itu beruntung, si Guru bisa diselamatkan. Kita pun jadi bertanya kekesalan seperti apa yang dirasakan murid bocah tersebut sehingga nekad menembak gurunya sendiri? Tak berselang lama, di Bima nusa tenggara Barat, seorang murid kelas II MTs memukuli gurunya sendiri di depan umum. Ajaibnya, ia disuruh oleh orangtuanya sendiri yang tidak terima setelah sebelumnya anaknya dipukul gurunya.

Peristiwa itu terekam jelas oleh salah satu stasiun televise nasional dan tersebar luas terutama setelah diunggah dijejaring social “youtube” dan Facebook. Muncul sebuah reaksi yang luar biasa. Ribuan guru-guru sekota Bima dan Dompu melakukan demonstrasi mengutuk peristiwa itu.(Mungkin kejadian itu juga sama saja jika rekamanx terbalik, masyarakat juga pasti akan berekasi keras?)

Kekerasan dalam berbagai bentuk, apapun jenis dan motifnya tentu tidak bisa dibenarkan. Termasuk juga kekerasan tekstualis yang berdampak luar biasa akibat video rekaman yang ditayangkan secara “seronok” dan dibisa ditonton oleh siapapun tanpa mempertimbangkan akibatnya, terutama untuk si Alin siswa pelaku yang akhirnya dihujat sana-sini, di boikot, alias tidak ada satu sekolahpun  yang mau menerimanya setelah ia dikeluarkan. Mungkin ia bersalah, kurang ajar bahkan. Tetapi bukankah ia  juga seorang korban yang layak dilindungi? Sebab ia seorang siswa, pelajar, yang masih belajar merangkai bentuk hidupnya. bisa jadi, ia adalah korban dari kekerasan lainnya. Entah itu karena hukuman gurunya, tekanan orang tua, atau karena situasi lain yang menjadikannya bandel di Sekolah.

Mengapa kekerasan seolah begitu lekat dengan masyarakat kita saat ini? Bahkan merasuk hingga ke institusi sekolah, sebuah almamater, ibu yang melahirkan ilmu pengetahuan dan budi pekerti? Dari fenomena munculnya genk motor, perkelahian antar-siswa antar-sekolah, kekerasan guru terhadap murid, atau seperti kejadian di Brazil dan di Bima itu?(beberapa tahun yllu, seorang Mahasiswa dari Bima tewas oleh aksi premanisme di kampusnya sendiri, sampai saat ini kasusnya gelaaappp).  Benarkah sekolah masih efektif untuk menanamkan semacam “nilai-nilai” yang penting bagi kehidupan? Untuk siapakah sekolah itu di buat dan diadakan? Untuk peserta didik alias generasi penerus masa depan? Atau justru untuk melayani modal?

Kasus kekerasan di sekolah yang terjadi di Bima sesungguhnya memperlihatkan dengan gamblang betapa bobroknya sitem pendidikan dan pengajaran kita. Kekerasan yang terjadi di sekolah itu tentu tak berdiri sendiri. Kenapa guru memukul muridnya? Kenapa orang tua seperti tidak percaya terhadap sekolah yang mendidik anaknya (dan Negara atau hokum tentu saja, karena dalam video berdurasi ringan itu terlihat jelas aparat kepolisian yang terkesan mmbiarkan kejadian itu) sehingga harus melakukan intervensi langsung ke sekolah? Kenapa murid-murid sering bandel dan melawan gurunya sendiri? Kenapa guru-guru protes? Tentu itu hanyalah salah satu renik dari seabrek persoalan di dunia pendidikan kita. Ada ideology, kekuasaan (Negara), modal dan pernak-pernik lainnya yang bermain di sana.

****

Ivan Illic, dalam Celebration of Awareness ; A Call for Institutional Revolution pernah berujar : Hanya jika kita mengerti sistem sekolah sebagai pembuat mitos utama masyarakat industry, kita dapat menjelaskan kebutuhan yang mendalam terhadapnya, mitos kompleks yang mengitarinya, dan jalan buntu dimana pendidikan sekolah terikat kedalam citra diri manusia kontemporer.

Ini tentu bukan zaman pewayangan, dimana seorang Maha Guru seperti Drona bisa menciptakan ketaatan yang luar biasa dan memperdayai murid-muridnya sendiri seperti Wrekudara (Sang Bima) atau Bambang Ekalaya dengan seenak ‘wudel’nya. Tetapi pendidikan di zaman ini  tentu terkait dengan sebuah system besar yang membentuk dan mengarahkannya. Dalam skala mikro, sistem itu ternyata hanya menempatkan guru & dan murid sebagai actor utama pendidikan. Celakanya hubungan keduanya sering mengalami masalah serius.

Seorang guru mengajar pastilah ada aturan mainnya. Ada kode etik, kurikulum atau silabus yang mengarahkannya. Bisa dibayangkan jika dalam satu dua tahun aturan main yang diterapkan secara general (nasional) itu terus berubah entah itu terkait keperluan reformasi pendidikan dan pengajaran itu sendiri atau hal-hal strategis dan politis lainnya. Sebab hal-hal spt itu tentu tak hanya terkait aspek-aspek metodologis pengajaran semata tetapi juga kesiapan guru dalam implementasi pengajaran. Ketidak siapan guru mengajar dengan baik itu misalnya, menjadikannya sebagai orang yang normative, kaku, yang penting mengajar sesuai yang tuntutan kurikulum atau silabi. Iapun menjadi kurang peka, kurang mau memahami kondisi obyektif dari peserta didik yang dihadapi.

Hubungan Guru-murid jika boleh boleh disimpulkan, meminjam istilah Gramsci dan Foucoult, terjadi dalam relasi kuasa yang sangat timpang. Situasi menjadi kaku. Pelajaran keluar masuk telinga seperti kegaduhan pada umumnya. Sekolah menjadi kegiatan yang membosankan. Akhirnya banyak peserta didik, para murid, terlanjur menganggap sekolah itu seperti "neraka". Bangun pagi, mengenakan seragam, Ruangan sekolah yang seperti penjara atau camp militer, mengerjakan tugas yang itu-itu saja, dst. Mereka merasa menjadi narapidana, tahanan keadaan, yang harus menjalankan kewajiban-kewajiban yang kadang tak mereka pahami apa tujuan yang sebenarnya. Kenapa harus berlajar kalkulus, geometri, rumus-rumus fisika, kimia, jika tak bisa diterapkan dalam kehidupan keseharian? Sementara mungkin mereka membayangkan guru-guru mrk seperti sipir2 penjara dalam film-film Holiwood yang biasa mereka tonton ditelevisi, merekapun membuat kenakalan-kenakalan yang terkadang juga cukup menjengkelkan.

Dalam konteks dunia pendidikan, satu hal yang tak bisa dipungkiri dan dirasakan oleh siapapun adalah betapa mahalnya pendidikan itu diupayakan. Mau sekolah bagus? Sedang-sedang atau biasa?  Semua ada tarif dan “martabat/gengsi” tersendiri. Mahalnya biaya pendidikan kita tentu tak hanya terkait dengan tingginya biaya sekolah; SPP, Buku-buku, seragam, biaya praktikum atau les privat dsb. Tetapi juga biaya penunjang lainnya, terutama gaya hidup sekolahan itu sendiri.  Setiap kali penerimaan murid baru, toko sepatu dan perlengkapan sekolah laris manis. Begitu juga konter hape, dealer sepeda motor dsb. Dimana-mana (tak hanya dikota besar) sudah umum jika anak-anak SD memegang Hape, konon agar orang tua mudah melakukan pengawasan. Anak-anak SMP kebut-kebutan dengan sepeda motor, dan ketika SMU merasa tak percaya diri jika tak memiliki IPod dan sejenisnya. Kuliah?

Bagi orang tua siswa tentu itu hal yang sangat memberatkan. Tetapi apa mau dikata jika itu tuntutan zamnya? Para orang tua pun lebih sibuk bekerja mencari nafkah, pontang-panting membayar tagihan kredit sepeda motor dan spp bulanan, bensin, uang saku, pulsa dst. Merasa tidak punya waktu, tenaga dan pikiran untuk sekedar menanyakan pelajaran di sekolah. Bukankah semua telah selesai dalam transaksi awal? (maka kemarahan Syahbudin yang mendengar anaknya dipukul gurunya tetap beralasan, meskipun tindakannya jelas tak bisa dibenarkan).

Sekolahpun menjelma sebuah pasar, tempat berbagai transaksi dilakukan. Siapa yang diuntungkan oleh situasi ini? Pabrik Kain yang memproduksi seragam? Industry otomotif? Pabrik kertas dan tukang cetak buku? Makelar proyek yang sering nyanggong di senayan? Atau semua ini bagian dari sebuah disain besar (Grand disain) mahkluk antah berantah bernama Kapitalisme itu? orang mana sih dia? hehehe..

Negara (dalam hal ini birokrasi/sistem pemerintahan, parpol dsb) cukup memiliki andil dalam menciptakan dan mempertajam situasi semacam ini. Berapa uang yang dikeluarkan untuk sekedar menyusun peraturan dan perundangan terkait pendidikan? Apa saja impact yang bisa ditimbulkan dari kebijakan yang dibuat itu? Berapa hutang yang disebut bantuan asing itu dikucurkan untuk membiayai semua keperluan pendidikan itu? Bagaimana kita mengembalikannya? Bagaimana sistem perekrutan guru-guru? proses sertifikasinya? bla, bla, bla.

*** 

Sekolah-sekolah (modern) yang ada, pada dasarnya diciptakan hanya untuk melayani pasar, terutama pasar kerja, bukan pendidikan itu sendiri. Hampir semua orang tua dinegeri ini berfikir bahwa sekolah adalah investasi masa depan, supaya kelak anak-anak kita bisa berdiri pada kakinya sendiri.Jika mau jujur, sedari awal pikiran ini telah dipenuhi kalkulasi ekonomi. Sayangnya mereka tak pandai berhitung--atau memang tak ada rumus yang jitu untuk ini-- sehingga resiko apapun akan ditempuh para orangtua, tak peduli sawah ladang habis tergadai, agar anaknya bisa sekolah setinggi mungkin. Padahal lapangan kerja yang ada selalu tak sebanding dengan jumlah lulusan yang terus bertumbuh setiap tahunnya. Belum lagi tuntutan profesionalisme dan kompetensi yang jarang sekali bisa dipenuhi oleh sekolah-sekolah kita. Apa pasal? Sebab jika terkait dengan lapangan kerja, dunia industri, lagi-lagi, ideology dan system pendidikan kita tidak memungkinkan untuk itu. Semuanya serba ambigu; dipenuhi dengan hal-hal yang tidak membumi, abstrak, dan abu-abu. Pendidikan kita juga terlalu banyak diboncengi “moralitas normative (semu)”, --entah itu agama, Negara, budaya,-- yang kurang adaptable dan seringkali berbenturan dengan nalar dan tuntutan industry itu sendiri.

Sementara untuk menciptakan lapangan kerja sendiri, wiraswasta atau apapun itu, sekolah pada umumnya tak membekali siswanya untuk mencapai kemandirian perilaku, sikap dan pemikiran. Modal (capital) untuk itupun biasanya telah habis untuk mengupayakan biaya pendidikan itu sendiri. (dan pernahkah anda menghitung berapa biaya sekolah dari Play group hingga bisa menjadi sarjana?) Apa yang diajarkan di sekolah selama bertahun-tahun itu sejatinya tak sesuai dengan tuntutan keadaan yang ada, sehingga ketika lulus dan tak terserap dalam lapangan kerja banyak yang hidup sebagai pengangguran. Jalan pintaspun dilakukan, sogok kiri kanan agar bisa di terima kerja. Meski gaji sedikit, paspasan,bahkan tanpa gaji sekalipun--mungkin hehehe---tak mengapa. Yang penting bisa kerja.

“Soal rizki kan sudah ada yang mengatur,” begitu katanya…

Masih percayakah anda dengan sistem ini? dan untuk hal-hal semacam ini negara menyisihkan 20% anggaran yang ditarik dari pajak, uang rakyat, untuk melanggengkan sistem yang membusuk ini. Menurut saya, sekolah itu penting, tapi dalam konteks pendidikan bukanlah segalanya.Tunggu tulisan lain saya tentang MASYARAKAT TANPA SEKOLAH (deSchooling society) ya…. (Bersambung)

Mataram 9 Okt 2011
Bagikan Berita Ini :
 
Copyright © 2011. Portal Berita Komunitas Babuju . All Rights Reserved.
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Design by Creating Website.