[caption id="attachment_1336" align="alignleft" width="177" caption="Trauma Siswa"]
[/caption]
BABUJU Report, Harian Bimeks,- Malang nian nasib Alin. Siswa kelas dua Madrasah yang masih dibawah umur itu, harus menerima kenyataan pahit yang belum tentu atas kehendak dan dimengerti olehnya. Setelah dikeluarkan dari Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Kota Bima akibat dari kasus yang membelitnya, hak untuk mendapat pendidikan tampaknya sulit didapatkannya kembali di Kota Bima. Berikut laporan Lalu Muhammad Tudiansyah.
Kendati mendapat rekomendasi pindah ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 6 Kota Bima, Sekolah yang dipimpin kakeknya sendiri, HM. Sidik Ridwan, namun tidak berarti Alin bisa mendapatkan pendidikan yang layak seperti sebelumnya. Dewan guru SMPN 6, menolak Alin masuk di sekolah itu. Alasannya kasus yang membelitnya masih “bergejolak”. Dewan guru khawatir akan mempengaruhi psikologi siswa lain hingga mengganggu proses pendidikan.
Ridwan mengakui, penolakan itu muncul ketika pertemuan dengan seluruh Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) dan Dewan Guru setempat, yang berujung penolakan terhadap kehadiran ALin. ”Memang kita keluarkan rekomendasi, tapi bukan berarti Alin bisa diterima karena guru-guru menolaknya,” katanya. Menurut Sidik, Alin belum bisa diterima di SMPN 6, karena masalahnya masih dalam proses. Pihak sekolah memahami Alin memiliki hak untuk belajar, tetapi belum berani menerimanya karena belum ada putusan tetap dari penyelesaian masalah yang membelitnya.
Selain itu, yang lebih penting dari dasar penolakan itu adalah pendidikan di SMPN 6 dikhawatirkan terganggu, termasuk psikologi siswa lainnya. ”Keputusan itu karena guru-guru menolaknya. Sekolah juga tidak mau ambil resiko terhadap pendidikan siswa 600 siswa yang ada sekarang,” tandasnya. Sidik menyadari penolakan itu merugikan masa depan Alin. Apalagi, Alin hanya dampak dari sikap dan perbuatan orang tuanya, Sahbudin. Alin adalah satu dari jutaan anak yang berhak mendapatkan pendidikan sesuai program Wajib belajar Sembilan tahun. Namun, atas persoalan yang membelitnya, pihak Sekolah tidak ingin mengambil resiko dengan mengorbankan siswa lainnya. ”Meski Alin adalah cucu saya sendiri, saya tidak mau mengorbankan ratusan siswa saya yang ada sekarang,” tandasnya. Namun, kata Sidik, akan berbeda ceritanya jika Alin telah mendapat hukuman tetap dari perbuatannya. Menurutnya, selama anak-anak yang terbelit masalah belum ada hukuman yang tetap, seseorang tidak boleh membatasi haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Apalagi, pemerintah saat ini sedang menggalakkan program wajib belajar. ”Janganlah dia yang korban dari perbuatan orang tuanya, anak gelandangan atau anak yang terbelit kasus parah lainnya justru kita paksa dan arahkan untuk belajar guna mendapatkan pendidikan yang layak,” katanya. Tapi, karena realitasnya sekarang persoalan itu masih bergejolak, belum ada penyelesaian dan hukuman tetap atas perbuatannya. Sebagai kepala sekolah, harus menghormati keinginan guru-guru yang tidak menginginkan siswa lain menjadi korban jika Alin diterima disekolah tersebut. ”Saat ini kami menolak Alin. Saya akan menghadap Kepala Dinas Dikpora dan Wali Kota untuk mencarikan jalan keluar, apakah kesempatan Alin masih ada atau tertutup.kalau memang masih ada, berikan rekomendasinya supaya tidak terjadi gejolak seperti penolakan ini,” terang Sidik.
Mengulas insiden pemukulan guru oleh Alin sebagai balasan dari yang diperbuat guru sebelumnya atas kehendak orang tuanya, Sidik mengaku terpukul karena perbuatan itu merendahkan martabat guru. Nuraninya tidak bisa menerima hal itu, karena guru adalah tenaga pendidik yang mencerdaskan generasi bangsa. ”Perbuatan itu jelas telah merendahkan martabat guru, saya tantang keras dan tidak bisa menerimanya,” tandasnya. Giliran kasus ini masih menjadi focus perhatian public. Sejumlah pihak menanggapi dengan argumentasi masing-masing. Ujung dari kasus ini masih harus ditunggu.

BABUJU Report, Harian Bimeks,- Malang nian nasib Alin. Siswa kelas dua Madrasah yang masih dibawah umur itu, harus menerima kenyataan pahit yang belum tentu atas kehendak dan dimengerti olehnya. Setelah dikeluarkan dari Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Kota Bima akibat dari kasus yang membelitnya, hak untuk mendapat pendidikan tampaknya sulit didapatkannya kembali di Kota Bima. Berikut laporan Lalu Muhammad Tudiansyah.
Kendati mendapat rekomendasi pindah ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 6 Kota Bima, Sekolah yang dipimpin kakeknya sendiri, HM. Sidik Ridwan, namun tidak berarti Alin bisa mendapatkan pendidikan yang layak seperti sebelumnya. Dewan guru SMPN 6, menolak Alin masuk di sekolah itu. Alasannya kasus yang membelitnya masih “bergejolak”. Dewan guru khawatir akan mempengaruhi psikologi siswa lain hingga mengganggu proses pendidikan.
Ridwan mengakui, penolakan itu muncul ketika pertemuan dengan seluruh Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) dan Dewan Guru setempat, yang berujung penolakan terhadap kehadiran ALin. ”Memang kita keluarkan rekomendasi, tapi bukan berarti Alin bisa diterima karena guru-guru menolaknya,” katanya. Menurut Sidik, Alin belum bisa diterima di SMPN 6, karena masalahnya masih dalam proses. Pihak sekolah memahami Alin memiliki hak untuk belajar, tetapi belum berani menerimanya karena belum ada putusan tetap dari penyelesaian masalah yang membelitnya.
Selain itu, yang lebih penting dari dasar penolakan itu adalah pendidikan di SMPN 6 dikhawatirkan terganggu, termasuk psikologi siswa lainnya. ”Keputusan itu karena guru-guru menolaknya. Sekolah juga tidak mau ambil resiko terhadap pendidikan siswa 600 siswa yang ada sekarang,” tandasnya. Sidik menyadari penolakan itu merugikan masa depan Alin. Apalagi, Alin hanya dampak dari sikap dan perbuatan orang tuanya, Sahbudin. Alin adalah satu dari jutaan anak yang berhak mendapatkan pendidikan sesuai program Wajib belajar Sembilan tahun. Namun, atas persoalan yang membelitnya, pihak Sekolah tidak ingin mengambil resiko dengan mengorbankan siswa lainnya. ”Meski Alin adalah cucu saya sendiri, saya tidak mau mengorbankan ratusan siswa saya yang ada sekarang,” tandasnya. Namun, kata Sidik, akan berbeda ceritanya jika Alin telah mendapat hukuman tetap dari perbuatannya. Menurutnya, selama anak-anak yang terbelit masalah belum ada hukuman yang tetap, seseorang tidak boleh membatasi haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Apalagi, pemerintah saat ini sedang menggalakkan program wajib belajar. ”Janganlah dia yang korban dari perbuatan orang tuanya, anak gelandangan atau anak yang terbelit kasus parah lainnya justru kita paksa dan arahkan untuk belajar guna mendapatkan pendidikan yang layak,” katanya. Tapi, karena realitasnya sekarang persoalan itu masih bergejolak, belum ada penyelesaian dan hukuman tetap atas perbuatannya. Sebagai kepala sekolah, harus menghormati keinginan guru-guru yang tidak menginginkan siswa lain menjadi korban jika Alin diterima disekolah tersebut. ”Saat ini kami menolak Alin. Saya akan menghadap Kepala Dinas Dikpora dan Wali Kota untuk mencarikan jalan keluar, apakah kesempatan Alin masih ada atau tertutup.kalau memang masih ada, berikan rekomendasinya supaya tidak terjadi gejolak seperti penolakan ini,” terang Sidik.
Mengulas insiden pemukulan guru oleh Alin sebagai balasan dari yang diperbuat guru sebelumnya atas kehendak orang tuanya, Sidik mengaku terpukul karena perbuatan itu merendahkan martabat guru. Nuraninya tidak bisa menerima hal itu, karena guru adalah tenaga pendidik yang mencerdaskan generasi bangsa. ”Perbuatan itu jelas telah merendahkan martabat guru, saya tantang keras dan tidak bisa menerimanya,” tandasnya. Giliran kasus ini masih menjadi focus perhatian public. Sejumlah pihak menanggapi dengan argumentasi masing-masing. Ujung dari kasus ini masih harus ditunggu.