
Ngaha Karedo didasari oleh pengumuman tokoh adat atau orang yang dituakan di wilayah itu usai panen atau pada saat mulai menanam padi. Disamping itu, Ngaha Karedo juga dilakukan apabila terjadi wabah penyakit atau musibah lainnya. Biasanya Ngaha Karedo juga dirangkaikan dengan Doa Dana atau doa selamat atas sesuatu hajatan.
Biasanya kaum ibu memasak bubur di tempat yang dekat dengan acara Ngaha Karedo dan biasanya dilaksanakan di ujung kampung atau di jalan. Bahan pembuatan Karedo adalah beras dan santan kelapa. Pada hari yang telah ditentukan, anak-anak dikumpulkan untuk dibagikan Karedo (Bubur Nasi) di atas hamparan daun pisang muda. Lalu anak-anak disuruh menyantap Karedo bersama-sama. Disamping ngaha karedo, anak-anak juga diberikan uang receh. Kalau pada masa lalu sekitar 100 perak sampai 500 perak, sebagai perangsang. Karena ada juga anak-anak yang tidak mau makan Karedo. Hal ini juga dimaksudkan sebagai sadekah kepada anak-anak.
Usai makan Karedo, dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama setempat yang juga diikuti oleh anak-anak yang makan karedo tadi. Doa dan pengharapan pun dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat yang diberikan dan sebuah pengharapan agar rakyat dan negeri dijauhkan dari bencana dan musibah.
Disamping itu, Ngaha Karedo pada masa lalu merupakan kebiasaan Dou Dana Mbojo sebagai bentuk kesyukuran atau tradisi tolak bala, dilakukan secara kelompok masyarakat maupun individu yang berhajat. Ngaha Karedo cenderung dilakukan pada pagi hari, yang disuguhkan diatas tare (nampan) yang disediakan khusus dan biasanya yang diundang adalah anak-anak kecil. Kebiasaan lain setelah menyantap Karedo, diberikan uang Rp 100 atau Rp 500 (pada masa kanak-kanak dulu), hal ini dipercaya sebagai sedekah untuk terhindar dari bala, atau oleh dou Mbojo dikenal ‘Hagla’. Dan menjadi kegembiraan tersendiri bagi Bocah-bocah Mbojo yang ikut serta dalam Ngaha Karedo.
Ada Beberapa tatanan nilai yang terkandung dalam tradisi ini. Pertama, memupuk rasa syukur nikmat di kalangan masyarakat. Kedua, adalah nilai kebersamaan dan kegotongroyongan dikalangan masyarakat untuk mengumpulkan beras dan memasak secara bersama-sama. Ketiga, mendidik kebersamaan anak-anak dan berdoa tidak hanya di tempat ibadah tetapi dimanapun dan dalam kondisi apapun. Keempat, merangsang nafsu makan anak-anak yang kurang memiliki nafsu makan. karena dengan melihat teman-temannya yang makan akan terangsanglah mereka untuk makan. (Sumber: http://alanmalingi.wordpress.com & berbagai Sumber)