[caption id="attachment_882" align="aligncenter" width="450" caption="Paruga Nae Manggemaci Kota Bima yang direncanakan untuk direhab menjadi Convention Hall Kota Bima"]

BABUJU Report,- Gebrakan baru Pemerintah Kota Bima kembali diperlihatkan, meski menuai kontroversi dari berbagai lapisan masyarakat Bima. Kebijakan tersebut adalah direncanakannya rehab total Paruga Na’e Manggemaci Kota Bima menjadi Convention Hall Kota Bima dengan anggaran APBD Kota Bima sebesar Rp 2 Miliar untuk kepentingan menjadi Tuan Rumah Pertemuan APEKSI (Asosiasi Perkotaan Seluruh Indonesia), Wilayah IV Jawa Timur dan Nusra Tahun 2012 mendatang.
Pemkot Bima tidak main-main dalam mempersiapkan kegiatan bergengsi Pemerintahan Kota, 2 tahunan ini. Berbagai pembenahan dilakukan, termasuk infrastruktur seperti jalan dan lainnya. Untuk itu, sebagian alokasi anggaran pada sejumlah satuan kerja terpaksa dipangkas. Kebijakan ini terpaksa Pemkot Bima lakukan mengingat waktu dan kebutuhan anggaran yang tidak bisa dibebankan seluruhnya di tahun 2012 mendatang.
Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan, Syarif Rustaman MAP menyatakan bahwa APBD Perubahan (APBD-P) itu dapat disahkan sebelum tanggal 1 Oktober 2011. Karenanya dia meminta setiap satuan kerja mulai menyusun perubahan DPA, untuk dikonsolidasikan dalam penyusunan APBD-P. karena menurut rencana, Pertemuan APEKSI akan dilangsungkan bertepatan dengan HUT Kota Bima, 10 April 2012 mendatang.
[caption id="attachment_884" align="alignright" width="185" caption="Paruga Nae Manggemaci Kota Bima"]

Paruga Na’e Manggemaci pada dasarnya merupakan bangunan yang sedianya direncanakan untuk persiapan Kegiatan FKN (Festival Keraton Nasional) Ke II, 13 tahun silam (Tahun 1999). Kesultanan Bima terpilih sebagai Tuan Rumah FKN ke II pada saat itu, sehingga dianggarkanlah Pembangunan berbagai sarana dan perbaikan infrastruktur Kabupaten Bima (Sebelum pemekaran menjadi Kota Bima dan Kab Bima).Namun kemudian, FKN II di Bima tidak jadi dilaksanakan karena persiapan untuk kapasitas Penginapan di kota Bima untuk menampung rombongan peserta dari 84 Kerajaan & Kesultanan yang diperkirakan berjumlah ribuan orang yang tergabung dalam FKN pada saat itu, yang sangat minim dan tidak maksimal. Akhirnya FKN dialihkan ke Cirebon.
Menurut Julhaidin atau biasa disapa Rangga, Pendiri Komunitas BABUJU, bahwa Paruga Na’e Manggemaci Kota Bima pasca dibangun untuk persiapan FKN merupakan ruang public untuk berbagai kegiatan Sosial Budaya. “Jika dirombak menjadi Convention Hall Kota Bima, Maka, masyarakat Bima akan kehilangan salah satu areal Public Space di Kota Bima. Sebab selama ini, lokasi Kegiatan sosial kebudayaan, selain ASI Mbojo selalu dipusatkan di Paruga Na’e” Ujarnya di Markas BABUJU, Lingkungan Sadia 1 Kota Bima.
“Jika Convention Hall itu dibangun, harga penyewaannya disesuaikan dengan orang yang ingin menggunakan. Jika warga kelas atas yang memakai, maka harganya tidak bisa disamakan dengan kelas bawah. Untuk warga biasa, disesuaikan dengan kemampuannya,” seperti itulah kalimat H. Qurais (Walikota Bima) saat diwawancarai sejumlah wartawan di depan Gedung Pemkot Bima beberapa waktu lalu. Bangunan yang direncanakan menelan anggaran sekitar Rp 2 miliar itu akan merubah total bangunan lama. Pemerintah melalui pihak ketiga, akan mulai disibukkan dengan aksi menata bangunan sekitar usai disyahkannya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Perubahan tahun ini. Artinya, sekitar awal tahun depan, masyarakat Kota Bima akan melihat bangunan yang berbeda disebelah timur gelanggang olah raga Manggemaci itu. (Releas Harian SM, 11/08/2011).
Rangga, menambahkan bahwa bila di-elit-kan penggunaan Convention Hall kelak, maka gedung tersebut tidak akan berfungsi apa-apa bagi masyarakat Bima. “Paruga Na’e saja, bila ada kegiatan Sosial kemasyarakatan seperti Pernikahan, seminar maupun pementasan, Pemkot Bima memungut biaya dari panitia kegiatan sebesar Rp 1,8 juta per sekali pakai. Itupun banyak yang mengeluh kemahalan. Nah, bila akan ‘disulap’ menjadi Convention Hall, maka biaya yang akan dipungut akan jauh lebih besar lagi. Tentu pengembangan dan pengasahan potensi masyarakat maupun generasi Bima akan jauh ‘api dari panggang’ lah mas” Ujar Rangga menyayangkan.
Husain La Odet, seperti yang direleas oleh harian Suara Mandiri (11/08) menyatakan bahwa Bangunan berbentuk nggusu waru itu bukan asal dibangun, tapi memiliki nilai, terlebih pada bentuk bangunannya yang memiliki nilai filosofis. ”Kita tidak menolak, tapi jangan mengganggu fasilitas yang sudah ada. Cari lahan lain, masih banyak lahan yang bisa dibangun dengan keinginan pemerintah itu. Jangan karena berkuasa, lantas bertindak semena-mena, tanpa dibicarakan lebih dulu dengan masyarakat,” Imbuhnya menambahkan.
[caption id="attachment_885" align="aligncenter" width="450" caption="Pertemuan APEKSI di Denpasar beberapa waktu yang lalu"]
