BABUJU Report, Humas Pemkab Bima,- Raja ke 26 lah yang pertama menerima Islam di awal abad 17, dan menjadikan Kerajaan Bima sebagai Kerajaan yang berasaskan ajaran Islam. ”sebutan rajapun diganti menjadi Sultan, tetapi dalam bahasa Mbojo tetap bergelar Rumata Ma Sangaji Mbojo”. Masuknya Islam di Bima tidak bisa dilepaskan dari proses ke-islam-an kerajaan Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan. Demikian dikatakan Dr. Hj. Mariam, saat menjadi pembicara dalam acara refleksi sejarah masuknya Islam di Bima, yang dihelat oleh Ikatan Pelajar Mahasiswa Sape Bima di Gedung Serba Guna Sape (21/08).
Hj. Siti Mariam Atau lebih akrab dengan panggilan Ina Ka’u Mari ini menyakinkan, bahwa selama ini kita menganggap Islam bercokol di tanah Bima sejak 1640, tetapi dari berbagai catatan yang ada, Islam sudah ada di Bima sejak 1609. ”Tertulis di Bo Sangaji Kai, tercantum tahun kedatangan para Mubaliq Islam di Tanah Bima yakni tahun 1018 Hijriyah”. Bunyi catatan itu, kata beliau, ”Hijratun Nabi SAW seribu sepuluh tahun delapan ketika itu masuk Islam di Tanah Bima oleh Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro tatkala Zaman Sultan Abdul Kahir”.
Catatan inilah yang sekarang harusnya dapat dikatakan sebagai momentum awal masuknya Islam di Bima, kata Pakar Filologi yang baru setahun lalu menyelesaikan Program Doktoral di Unpad Bandung.
Sementara itu, Bupati Bima yang diwakili oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima, H. Nurdin, SH mengatakan Nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal kita tidaklah bisa lepas dari tradisi Islam semenjak Islam menginjakan kakinya ke Bima. Begitu juga, nuansa seni dan budaya, sangat kental diwarnai oleh tradisi ke-Islam-an yang kuat. Begitu kuatnya, hingga adat istiadat masyarakatpun saat itu, hingga kinipun bernafaskan Islami.
Nurdin mencontohkan pelaksanaan Upacara adat Hanta Ua Pua. Ua Pua sendiri sebenarnya mulai dilaksanakan pada masa Pemerintahan Sultan Abil Khair. Pada saat itu, U’a Pua merupakan sebuah prosesi budaya, karena Sultan Abil Khair sangat cinta terhadap seni dan budaya. Makanya, menurut Nurdin, refleksi dari pelaksanaan ua Pua adalah bagaimana Islam di tanah Bima bisa terus disebarkan, dibuatlah kesepakatan antara pendekar dari Melayu, semua dimaksudkan agar Islam tetap terus dapat di syiarkan di tanah Bima.
Untuk maksud syiar teresebut, dibuatlah sebuah prosesi seni dan budaya, tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai syiar Islam. Jadilah prosesi adat Hanta U’a Pua sebuah perpaduan seni dengan prosesi ritual yang mensimbolkan tentang janji yang harus selalu diingat oleh Sultan, jelas Nurdin. (Humas Pemkab Bima)