
BABUJU Report, Harian Bimeks,- Saat banyak orang merasa lemas berpuasa, tidak demikian dengan sejumlah penambang atau pemecah batu di lingkungan Waki kelurahan Manggemaci Kota Bima. Palu tetap mereka ayunkan untuk memecahkan kerasnya batu. Seperti apa mereka melakoni pekerjaan itu ditengah ibadah puasa? Berikut liputan Sofyan Ash’ari
Lebih dari 20 tahun, Syaiful mengayunkan palu untuk memecahkan batu dipegunungan Waki kelurahan Manggemaci. Gunung yang kukuh itupun secara perlahan terkikis habis. Tak pernah terbayangkan dengan cara manual,bisa ’meruntuhkan’ kokohnya gunung berbatuan itu. ”Tak ada pekerjaan lain, hanya ini yang bisa kami lakukan untuk bertahan hidup,” Ujarnya di lokasi kerja. Tak ada sawah atau ladang yang dimilikinya untuk digarap. Apalagi,modal untuk membuka usaha.Namun, dari tangannya-lah banyak bangunan permanen berdiri kukuh. Semua memanfaatkan pecahan batu yang dihasilkannya lebih dari separuh umurnya.
Puasa, bukanlah hijab baginya tidak bekerja. Berhenti memecahkan batu, berarti menyumbat penghasilan untuk keluarganya. Baginya ibadah adalah ibadah, pekerjaan harus di lakoni. Bagi Syaiful, batu adalah mata air kehidupan. Dari situlah akan mengalir tetesan embun untuk menghidupi keluarganya. Tak untuk makan dan minum saja, tapi juga pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya. ”Anak saya yang sudah tamat SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas, red), belum mengambil ijasahnya. karena tidak ada uang untuk menebusnya,” kata pria empat anak ini.
Meski pahit dirasa tak bisa ”membayar” ijasah anaknya, namun Syaiful tetap menyimpan optimism. ketika sang anak meminta melanjutkan kuliah, tak lantas memutuskan semangat sang buah hati. ”Insya Allah tahun depan kamu lanjut kuliah,” ucapnya, mengutip pesan pada anaknya. Sebenarnya, kata dia, anaknya lulus UMPTN jalur Khusus di Makassar. Lantaran pertimbangan jauh, sehingga tidak melanjutkan. Selain ijasah belum diterima. Sehari bekerja, kata Syaiful, tak langsung menghasilkan uang. Namun butuh seminggu bahkan lebih untuk menjual batu yang dipecahkannya tiap hari. Menunggu hingga cukup untuk satu truk atau gerobak.
[caption id="attachment_836" align="alignright" width="300" caption="Salah seorang bapak Pemecah Batu Kota Bima. Foto: Raka Mariko"]

Untuk satu drum truk, kata dia, dihargai sekitar Rp 110 ribu. Butuh minimal satu minggu untuk menghasilkan jumlah itu. Setelah memecahkan batu, masih ada proses lainnya, yakni memisahkan ukuran berdasarkan besar dan kecilnya. Masing-masing batu itu memiliki kegunaan untuk bahan bangunan. Ada istilah batu jagung dan 23. Proses pemilahan pun bisa membutuhkan waktu satu minggu juga. Selain Syaiful, Abdullah, Erni dan M.Nor melakoni pekerjaan itu lebih dari 20 tahun. Mereka dengan sabar “mengalirkan” energy untuk memecahkan kerasnya batu. Bunyi dentingan seolah menjadi irama khas dilokasi itu.
Demikian juga dengan seorang nenek, Ibo, sibuk mengumpulkan batu. Janda ini harus menghidupi diri sendiri. Dua anaknya kini berumah tangga. Waktu kerja, di bulan Ramadhan ini memang tak seperti hari biasanya. Jika mata hari sudah terik, mereka istirahat dan pulang. Siang menjelang sore kembali lagi. Saat senja dan matahari mulai redup, mereka meninggalkan pekerjaan, harus segera kerumah untuk berbuka puasa. Meski hanya dengan seteguk teh manis.