
Setahun lamanya, menggantungkan nasib dan masa depan dengan berdagang keliling berbagai macam produk dan obat pertanian. Nun jauh di sana (Kalimantan),satu keluarga ini, merajut hari esok lebih baik, ditengah kerasnya hidup di Bumi Nusantara yang begitu subur dan berlimpah sumber daya alamnya. Begitulah cerita Eni (30) ibu muda mewakili sang suami (Edi) yang tengah mengais dan mencari sesuap nasi demi menafkahi empat anak semata wayang usia balita, di Sudut-sudut Kota Bima dengan menjual sepatu milik orang lain pula.
Saat di temui oleh media cetak, di salah satu gubuk milik warga Nggaro Kumbe Kelurahan Raba Dompu Timur Kecamatan Raba, baru-baru ini. Di gubuk So Doro Kumbe atau di sebelah utara perbukitan Lingkungan Nggaro Kumbe itulah,tempat tinggal satu keluarga dari perjalanan panjang dan berliku, demi meniti hari esok lebih baik. Bukan tanpa sebab mereka berada di situ, di gubuk sederhana yang semestinya di pergunakan sebagai tempat peristirahatan pemilik yang hendak mengurusi sawahnya, yang tidak jauh dari lokasi gubuk. ”Kami sudah tidak tau harus ke mana. Semua harta dan modal yang dimiliki untuk berdagang ludes sudah”, Ujar ibu muda tersebut sembari menyusui Dipa (2,5 thn) anak terakhirnya dari empat saudara yang ikut serta meresahkan kerasnya hidup.
Sebab hingga terlantar di Kota Bima, berawal dari berdagang obat pertanian di Kabupaten Sumba Nusa Tenggara Timur. Di daerah tersebutlah sang suami mengalami kerugian akibat usaha hingga seluruh modal yang di miliki amblas. Obat-obatan Pertanian yang di jual dengan cara kredit atau diberikan terlebih dahulu pada sejumlah petani di wilayah itu, mengalami hambatan pembayaran, bahkan sama sekali tidak di bayar. ”Mereka tidak ada yang mau bayar. Ditagih pun susah. Mau dengan cara keras, namanya kampung orang. Ya begitulah resiko dagang”, pasrahnya.
Kepedihan pun mulai dirasakan keluarga tersebut. Disamping modal sudah tidak ada, untuk makan sehari-hari dengan empat anak yang masih balita, terasa sulit. hingga sejumlah perhiasan yang melekat di badan ibu muda itu,lenyap di jual satu. Kesulitan semakin hari semakin terasa, Dengan modal keyakinan untuk tetap bertahan hidup bersama empat orang buah hati, masih menyelimuti benak Pasutri ini. Hingga disimpulkan, hijrah dari tanah Sumba menuju Bima. Saat harapan mulai dilabuhkan di daerah ini seiring berlabuhnya kapal ferry yang mengantar mereka menuju Bima di pelabuhan Sape, asa di kembangkan layarnya kembali. Meski modal dan sejumlah perhiasan sudah tidak dimiliki. Sebulan lamanya luntang-lantung diperkampungan sekitar pelabuhan Sape pun tak membuat keluarga ini berubah nasib menjadi lebih baik. Hingga suatu waktu terdampar di sekitar Nggaro Kumbe Kelurahan Raba Dompu.
Suatu hal yang kebetulan di kelurahan tersebut, keluarga ini bertemu dengan Abdurrahman alias Mori yang merasa iba dengan kondisi yang menimpa, hingga membantu dan mengajak nginap di salah satu rumahnya untuk sementara waktu. Selepas itu, mereka di bantu Sukardin yang merelakan saungnya untuk di jadikan tempat tinggal sementara. ”Bapak (Sukardin) banyak membantu kami. Disamping mengikhlaskan gubuknya untuk ditempati, beras dan makanan lain selalu di berikan”, Cerita ibu muda itu. Wajah polos tanpa dosa keempat anaknya, seakan mengisyaratkan bahwa mereka tak tahu yang tengah menimpa orang tuanya. melongo dialeg Indonesia terbata-bata dari sang ibu, yang tengah di wawancarai, ditengah sejumlah warga sekitar yang berkeremun selepas mengurus sawah yang ada di sekitar gubuk, semakin meggambarkan betapa redupnya nasib yang menimpa keluarga asal sampit itu.
Kepasrahan semakin terasa, ketika ibu muda itu menuturkan, demi menyambung hidup sehari-hari, Selalu tersirat harapan dari bantuan warga sekitar yang kebetulan lewat dari bercocok tanam di bentangan sawah di So Doro Kumbe. ”Ada yang bawain beras, pakaian, Serta kebutuhan lainnya. Saya berterima kasih pada warga yang mau bantu saya”, Harusnya.karenanya, mengharap hasil dari suami yang bekerja serabutan, sangat tidak mencukupi. Saban hari, tutur ibu muda itu, suami hanya bisa pulang dengan membawa tidak lebih dari sepuluh ribuan saja. Bahkan parahnya, terkadang tidak membawa apa-apa. Niat untuk kembali ke kampung halaman sangat besar dari keluarga ini. Namun apalah daya. Ongkos sampai ke Sampit saja dengan menumpang kapal dari pelabuhan Bima, membutuhkan biaya sekitar Rp.3,5 juta, itupun belum termasuk biaya makan di perjalanan. ”Uang segitu banyak dimana mendapatkannya. Kami sangat ingin pulang pak. Meski harus memulai hidup baru di sana (Kalimantan )”, Keluhnya dengan menatap tajam sang buah hati.