Tingkat Perceraian Menyokong Perkembangan Sexy Style di Dana Mbojo
[caption id="attachment_680" align="aligncenter" width="250" caption="Ilustrasi dari Cover salah satu Film Layar Lebar Indonesia"]

BABUJU Report,- Penduduk kabupaten Bima ditahun 2010 mencapai 443 Ribu Jiwa lebih, sedangkan kota Bima 130 Ribu jiwa. Perkembangan kehidupan sosial cukup pesat. Dengan APBD Kota Bima ditahun 2010 mencapai Rp 338 Milliar dan Kab Bima mencapai Rp 696 Miliar. Sedangkan ditahun 2011 ini Kota Bima mendapatkan alokasi APBD lebih kurang sebesar Rp 429 Milliar dan Kab Bima lebih kurang sebesar Rp 742 Milliar.
Kepadatan penduduk Kota Bima 130 ribu jiwa dengan luas wilayah 22 km persegi, kini bertambah dengan berdomisili tidak tetapnya 13 ribu mahasiswa yang mengenyam pendidikan di 7 (tujuh) PTS dan 1 PTN di Kota Bima. Sedangkan kepadatan lalulintas jalan Negara (Soekarno-Hatta) mencapai rata-rata 18.000 unit roda dua dan 1.500 unit kendaraan roda empat per 24 jam, (Survey Highway: BABUJU, 1 – 2, April 2011)
Pembangunan fisik Nampak memang pada dua wilayah pemerintahan ini (Kota dan Kab Bima), meskipun yang cukup pesat adalah pembangunan Kota Bima karena masih menjadi Central Office dua pemerintahan daerah.
Hal lain yang hangat dibicarakan dalam perkembangan Kota dan Kab Bima dipenghujung tahun 2010 yang lalu adalah tingkat perceraian. Pada tahun 2010 PA (Pengadilan Agama) Bima memutus cerai 1.103 kasus perceraian dari 4 ribu berkas Permohonan cerai yang diajukan oleh para penggugat. Hal ini menurun dibanding pada tahun 2009 yaitu 1.186 Kasus yang diputus cerai. Sedangkan pada tahun 2008 tercatat 1.532 kasus cerai dan tahun 2007 yang lalu tercatat 1.272 kasus putus cerai. Sedangkan januari – Juni tahun 2011 sudah tercatat, 621 kasus Putus Cerai. ini Berarti tiap tahun Bima memutus cerai rata – rata 1.000 pasutri. (Data: PA Bima 2007-2011)
Tentu saja dalam berbagai perceraian ini dilatarbelakangi banyak hal dan banyak factor. Namun, menurut data yang direleas oleh PA (Pengadilan Agama) Bima tahun 2011 ini, bahwa kasus cerai di Bima cenderung dilatarbelakangi oleh ‘Pihak ketiga’. Bisa dari mertua, keluarga dekat, sahabat dan selingkuhan. Disusul oleh masalah ekonomi dan terakhir akibat ketidak cocokan hubungan.
Di Bima, pernikahan yang terjadi bersifat matrilinear atau didasari dengan hubungan kekeluargaan pihak perempuan. Artinya, pernikahan yang diinginkan bukan karena ‘suka sama suka’ pasangan calon, namun ‘cocok atau tidak cocok’ pihak keluarga terutama orang tua. Jadi, tidak heran bila, PA Bima menunjukan angka perceraian yang fantastis. Nah, pasca bercerai, apakah Duda (pihak Laki-laki) atau Janda (Pihak Perempuan) dengan mudah menikah lagi kemudian?
Dari penelusuran BABUJU, laki-laki (Duda) lebih mudah untuk menjalin kembali hubungan asmara yang berakhir dipelaminan ketimbang pihak perempuan (Janda). Apalagi Duda tersebut memang telah memiliki pekerjaan tetap. Meskipun, terkadang pihak keluarga perempuan (calon) rada-rada khawatir bila kelak anaknya berakhir tragis seperti rumah tangga awal sang Duda. Namun, banyak juga keluarga pihak perempuan yang optimis.
Sedangkan, perempuan (Janda) jauh lebih sulit. Hal ini cenderung disebabkan oleh stigma masyarakat yang memojokan Janda. Selain itu, beberapa oknum janda memaksakan diri untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat negative, seperti merebut suami orang atau menjadi penghancur rumah tangga seseorang dan atau berpakaian sangat seksi (sexy style) dari batas adat ke-timur-an Bima. Meski ini dilakukan oleh segelintir janda, namun tabiat generalisasi sosial Bima sehingga Janda yang berprilaku baik pun tidak bisa lepas dari stigma serta generalisasi ini. Sehingga butuh waktu adaptasi yang panjang dan prilaku yang tidak menimbulkan kontroversi ditengah masyarakat.
Bila kita melirik sulitnya Janda membina dan memperbaiki kembali kehidupan rumah tangga dengan pasangan yang lain diwaktu yang berbeda, ketimbang Duda. Maka jika dalam setahun 1.000 janda belum tentu langsung menikah kembali, setidaknya 100-200 (mungkin) bisa, namun dengan lelaki bukan asli Bima. Sehingga bisa kita akumulasi jumlah janda di Bima dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Kenapa sangat sulit bagi seorang perempuan yang telah men-Janda menikahi lelaki Bima? Dari beberapa sumber yang dimintai tanggapan menyatakan bahwa sebaik apapun karakter perempuan yang pernah gagal berumah tangga, orang tua maupun keluarga pihak lelaki (bukan Duda) akan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang. Sebagian besar dari keluarga maupun orang tua kita di Bima, belum bisa menerima mantu dari perempuan yang sudah pernah gagal berumah tangga (Janda).
“Wati du wara siwe makalai ana ro..?” kalimat dengan bahasa Bima seperti ini, cenderung kita dengar dari para orang tua kita ketika seorang lelaki menyatakan keinginannya untuk menikahi perempuan yang ber-status Janda. Kalimat tersebut adalah bahasa halus yang bermaksud menolak calon yang dipilih oleh anaknya yang kebetulan berstatus Janda. Bilapun anaknya ngotot untuk menikah, maka akan banyak halangan dan rintangan yang menyertai proses pernikahan tersebut. Meski juga tidak sedikit yang berhasil melewatinya.
Bagi banyak perempuan (Janda) di Bima, untuk menemukan atau menarik perhatian lelaki guna menjadi ‘pengganti’ menuju bahtera rumah tangga yang lebih baik dari sebelumnya, tidaklah mudah. Seperti halnya, ketika mencari bujang semasa lajang. Selain karena status sudah berubah, sosial budaya yang menggunjing, bagi sebagian Janda juga ada anak (hasil pernikahan sebelumnya) yang dibawa serta. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan (janda) dalam menjatuhkan pilihan pada lelaki yang dapat menerimanya dengan apa adanya. Juga akan menjadi pertimbangan yang dilematis bagi pihak lelaki (calon maupun keluarga) yang akan meminangnya.
Tentu pada kondisi umumnya, penting bagi seorang perempuan merawat diri dan berpenampilan menarik sehingga menjadi starting point dalam hal menarik perhatian lelaki. Hal ini jauh lebih lihai dilakukan oleh para Janda. –disini tidak berusaha men-justifikasi negative. Sebab, selain telah melalui pengalaman-pengalaman sebelumnya, Janda juga sudah lebih dewasa dari para remaja. Kecenderungan yang menonjol yang terjadi di Bima adalah persaingan dalam sexy style. Hal ini begitu nyata terlihat dari lingkungan pergaulan maupun kampus. Terlebih budaya ‘latah’ (imba da ambi; Bahasa Bima) para remaja yang Bima kini sudah jauh dari batasan-batasan normative sosial budaya.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian para Janda harus melakukan sesuatu yang lebih agresif untuk memenuhi kebutuhan hidup serta kebutuhan anaknya (bagi yang telah memiliki anak). Karena tidak mungkin berharap selalu kepada sanak saudara maupun orang tua. Bagi yang telah bekerja, mereka (para Janda) harus memiliki jiwa Survivel dalam menghadapi kenyataan-kenyataan stigma maupun asumsi yang hingga kini masih berkelit dalam benak lawan jenis (lelaki; red). Tidak sedikit yang akhirnya menjadi istri simpanan, TTM (Teman Tapi Mesum) maupun HTS (Hubungan Tanpa status) yang penting, jaringan maupun relasi tetap terjaga dan kebutuhan materi selalu terpenuhi.
Sekali lagi, hal-hal tersebut diatas dilakoni oleh oknum sebagian Janda, sehingga tidak serta merta ter-generalisasi. Keadaan ini, secara psykologis memaksa banyak pihak untuk terkadang berhati-hati atau malah lebih agresif dalam menyikapi kondisi dan keadaan yang ada. Apalagi stigma terbaru dari kawula muda Bima kini, bahwa memacari Janda sama dengan meraih ‘surga’ duniawi. Sebab tidak sedikit juga Janda yang rela berkorban melakukan apa saja untuk kekasih yang belum tentu menjadi pasangan hidupnya. Inilah yang menambah ‘buram’ nya pencitraan para Janda ditengah masyarakat Sosial Bima.
Budaya terbentuk akibat biasa yang dibiasakan kemudian membudaya dan akhirnya menjadi tradisi. Fenomena Sexy Style seperti You Can See, tights, dan sejenisnya adalah sesuatu yang baru di Bima dan kini digemari. Lengkap dengan penampilan yang cenderung sedikit terbuka bagian belakang dengan mengalungi indah HP (Hand Phone) dileher dan terselip di dada. Bagi banyak Janda, hal itu (mungkin) biasa dan tidak terlalu dirisaukan bagi banyak pihak. Namun, bagi remaja ABG, itu menjadi simbolitas Style masa kini yang kerap diikuti. Dan ini adalah gejolak yang menggejala.
Tak heran, bila kita berada dijalanan (Ngebuburit, -berkendaraan sore) sepanjang jalur kota Bima menuju pantai atau jalur dalam kota Bima sendiri. Kita mungkin akan berdecak geleng-geleng melihat tingkah dan gaya remaja Bima kita kini. Berkendaraan motor dengan stelan celana pendek yang hanya beberapa sentimeter dari pangkal paha, Serta kaos oblong yang kedodoran dibagian leher dan pundak. Menampakkan ‘tali kutang’ bagi sebagian remaja Bima kini adalah trendi, kekinian.
Persaingan penampilan inilah yang menjerumuskan ‘benak’ laki-laki lebih-lebih para ABG pada frontalitas seksuality dalam melihat dan menentukan siapa yang harus dipacari. Tak heran, kasus pelecehan seksual maupun amoralitas terjadi berdinamika hampir tiap minggu ter-ekspos. Bagi kalangan yang sudah dewasa (Janda maupun Duda), ketika mereka beradu mesra maupun menjalin nuansa romatis bersama pasangannya meski dalam kondisi apapun, sudah paham apa yang harus dan tidak untuk dilakukan serta yang semestinya dihindari pada kondisi-kondisi tertentu. Namun bagi ABG dengan prinsip ‘imba da ambi’ rentan dengan bahaya yang bersifat amoralitas serta cenderung mengacuhkan dampak kemudian.
Kondisi ini menjadi ‘virus’ yang menyilaukan mata di Dana Mbojo. Memang saat ini Amahami sudah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman karena sedang dilakukan pelebaran jalan dan reklamasi pantai beberapa meter. Namun, Dantraha (Kuburan Raja), Lawata, Wadumbolo, Ni’u maupun Kalaki, fenomena esek-esek pasca konvoi tetap saja berlangsung. Kini memang harus diakui, kinerja Pol PP dalam menjaring pasangan-pasangan yang berduaan ditempat gelap maupun dibalik semak-semak, intens dilakukan, namun lagi-lagi hanya diberi peringatan lisan ditempat.
Akankah fenomena ini terus berkembang dan menjadi budaya di Bima? Haruskah stigma negative secara me-generalisasi terhadap janda terus terjadi? Bukankah tabiat Ndai Mbojo bahwa ‘Ngaha kanta mu na ngaha kente’ ini berakibat postif atau malah akan fatal karena negative yang tercitrakan? Mungkin, bisa iya dan mungkin bisa tidak…! (Bersambung)