http://babujuwebsite.googlecode.com/files/js.txt SECERCAH SAPAAN, CAHAYA MATA GANGGANG | Portal Berita Komunitas Babuju
HEADLINE :
Home » » SECERCAH SAPAAN, CAHAYA MATA GANGGANG

SECERCAH SAPAAN, CAHAYA MATA GANGGANG

Ditulis Pada Hari Sabtu, 25 Juni 2011 | Oleh: Babuju.com

(catatan menyambut terbitnya Antalogi “Ketika Cinta Terbantai Sepi”)


Oleh:  Selamat Ans *


Adalah Dr. Paul Budi Kleden. yang dalam artikelnya mengenang demi keadilan (PK,1/10/05),telah menyatakan bahwa “ .......para korban dan keluarganya terpaksa diam dan dan kalau berbicara mereka mesti memilih media imajinatif seperti sastra. Hal ini dilakukan antara lain Pramoedia Ananta Toer .......”.,.


 

PERNYATAAN ini (ditulis miring dan tebal dari penulis), terlepas dari konteks tujuan tulisan beliau,  menyiratkan beberapa hal. Pertama, bahwa sastra merupakan salah satu media untuk mengespresikan hayatan hidup. Bahwa sastra merupakan pilihan ungggulan karena dapat dimanfaatkan walau situasi berat menekan. Melalui sastra sesorang dapat menyalurkan  magma yang mengguncang rasa dan karsanya. Bersastra lewat  berbagai macam cara, ada yang mengambil posisi  menyarankan, ada yang menentang, ada yang mengkritik dan menyenangkan. Ada yang menghibur dan sebagainya. Kedua, bahwa sastra itu memang imajinatif, tetapi sangat  menyentuh hati nurani manusia. Sastra  menyenggol bagian terdalam dan  terpeka dari pribadi manusia. Sastra dapat menjadikan orang  terenyuh, termanggut – manggut, atau terlonjak – lonjak.

Ketiga, sebagai suatu  karya imajinatif, sastra itu menyapa rasa, mengiris pikiran menyalakan semangat. Tentu tidak secara serta merta, sastra menjalar dari pribadi ke pribadi, dari  waktu ke waktu,  dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan jangkauan peredarannya. Keempat, bahwa ber-sastra, walaupun sebagai sebuah karya imajinatif, namun cepat atau lambat, apalagi jika berbobot, akan terwujud dalam kehidupan. Perwujudannya mungkin sedikit bervariasi.... ada  yang revosioner, tetapi ada pula yang perlahan – lahan ini lebih banyak namun pasti.

Melihat empat siratan ber-sastra di atas, adalah sangat pas untuk direnungkan dalam rangka refleksi kecil terkait dengan kehadiran kompelasi puisi bertajuk “Ketika Cinta Terbantai Sepi” karya Sdr. Usman D. Ganggang.  Berikut dipaparkan karya sastra – puisinya  yang pernah terbit di beberapa koran dan majalah. Beliau adalah seorang penyair kocak,  selain itu, seorang guru bahasa, juga dosen di beberapa tempat. Lama bekerja di Atambua.Kab. Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekarang  berdomisili  di daerah Kota Kesultanan Bima. Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Bagaimana cahaya mata Ganggang menyapa, memuja nusa dan memartabati alam ? Mari kita simak !

Seiring gerakan reformasi yang timbul  karena keliru mengemudikan pembangunan yang telah menyambar nyawa  generasi bangsa serta takhta para pejabat. Ganggang berseru dalam puisi-nya yang berjudul Pulang ( dalam surat – surat Ine), “Anakku, pulang! Aku bukan  butuh uang”. Puisi ini begitu singkat. Aslinya ( dalam HU Pos Kupang,30/9/01) hanya dua baris, dua tanda baca, enam kata dan sepuluh jenis huruf. Singkatnya pulang sejalan dengan jiwa reformasi yang  tidak butuh  bicara  panjang lebar tapi butuh tindakan nyata dan segera, pulang!, pulang ! anak bangsa ini sudah  terlalu jauh berjalan. Anak bangsa sudah keasyikan menyantap harta lupa sesama. Masih untung ada Ine (ibu, bahasa Manggarai, ina: bahasa Sabu dan  Bima ). Ine itu ibu (Pertiwi) – yang selalu menyahuti anaknya dalam susah dan senang  memanggil. Ayo pulang ! Aku tidak butuh uang, ayo pulang bela nagi! (pulang ke negara ) No-oa (pemuda dan pemudi: bahasa Larantuka – Flores Timur), Umbu- Rambu (pemuda dan pemudi Bahasa Sumba ), enu- nana (saudara saudari: Bahasa Manggarai ), anamone –siwe (bahasa Sabu dan bahasa Bima ). Mari kita reorientasi !

Ganggang menyindir kita lewat puisi yang  berjudul Rumahku, katanya ”rumahku,  berdiri di antara gedung, di dalamnya sajadah  terbentang dan sebuah cermin terpajang” . Menurut  Ganggang , tidak banyak rumah, hanya satu, rumahku, bukan rumah kita. Kita lebih banyak tinggal di gedung atau rumah tinggi (pinjam istilah Pius  Rengka ). Kita tidak seperti orang yang  tinggal di rumah, bersajadah tetapi kita masih bisa merenung dan mengacai diri, sebenarnya  bertentangan. Bukankah di gedung – gedung itu selalu terpasang cermin tinggi dan lebar?  Bukankah di sampingnya tertulis SUDAH RAPIKAH ANDA ! Bukankah  di gedung – gedung itu tersedia Musollah ? Bukankah para penghuni – penghuni gedung itu setiap hari Jumat (bagi umat Islam) atau Minggu (bagi umat Kristen) merayakan ibadah bersama.? Masalahnya apakah penampilan lahiriah  kita itu sudah sejalan dengan geliat jiwa kita? Mari ina, to’o kunyadu! Kita instropeksi diri kita tata kerapian batin kita, kita atur perilaku kita, kita kaca lagi tentang cinta kita kepada sesama, kita olah pola konsumtif  agar harta negara dapat dirasakan oleh seluruh  rakyat.

Atau bukankah rumah – rumah tinggi itu lebar dan luas? Pernakah di sana ada diskusi ? pernahkah kaum pinggiran datang memaparkan pikirannya sehingga terpola sistem pembanggunan bottom up?  Mudah – mudahan, seperti dikemukakan Credo (sapaan populer Bupati dan Wakil Bupati Manggarai, Pos Kupang,  25/9/05 ) bahwa pembangunan itu jangan atas selera Bupati tapi dimulai dengan apa yang rakyat butuhkan.

Sebagai sesama umat Tuhan, Ganggang menyapa sahabatnya kaum kristiani melalui puisinya “Di Persimpangan Ini”. Puisi ini, ditulisnya di Atambua pada Bulan Maret 2002 dan dipersembahkan kepada Rm Gerald Hery Fernadez. Melalui puisi ini, Ganggang mengungkapkan penghayatannya terhadap kisah Sengsara Raja Dunia. Katanya “ Romo, di persimpangan ini udara kaku, gang – gang keiklasan dipalang , getar – getar cinta dipasung, karya kemanusiaan diajak  bisu “. Bait pertama yang menggambarkan kebekuan alam dan  kebuntuan jalur – jalur kebaikan oleh kejahatan, dilanjudkanya dengan bait kedua, ketiga dan keempat. Sepeti bait pertama, bait – bait berikutnya diungkapkan  Ganggang dengan penuh khas, menjadikan masalah lama selalu tampak baru. kebaruan yang menyegarkan iman sahabat – sahabatnya kaum kristiani.

Selain senang bertukar pandang dengan politisi dan birokrat, sarat bersilaturahmi dengan sesama umat,  Ganggang juga menyelami dunia keluarga. Menghadapi pasutri (pasangan suami istri) misalnya, Ganggang menawarkan keindahan. coba kita baca bait pertama puisi “Surat Cinta Dari Lakaan” (Pos Kupang,18/1/04). Katanya “wanita itu air, meloncat girang tampa perduli, dihadang bebatuan di pagi hari“. Kita diajak untuk menikmati panorama alam pegunungan pada pagi dan petang . di sana segala penat akan terlepas. di sana kita akan menyaksikan air  yang terus menuruni bukit dan terus terpecik karena terbentur bebatuan. Dari percikan terkemilau pelangi karena tersenter bekas sinar matahari, antar celah – celah dedaunan pada pagi dan petang. Aduhai...., betapa indahnya alam ini ! semoga menjadi perekat kemesraan, kemesraan yang melenggangkan hidup bersutri.

Ganggang juga memasuki dunia anak – anak dan pada usia tertentu suka bertanya apa ini?  Apa itu? Hal ini dilakukan melalui puisi “Pertanyaan Si Bocah” . Katanya ,” bulan kenapa kau pulang, ketika mentari datang “. Sebuah puisi yang singkat dan sederhana, pas dengan dunia anak, tetapi mampu menghantar  kita  pada suatu bulan- bulan  kerinduan. Rindu akan keceriaan berkumpul bersama kawan – kawan. Rindu akan keceriaan bermain seberang cegat. Saat bulan purnama di kampung halaman, rindu kebebasan ketika mereka pernah bermain lepas tanpa beban. Rindu ketenangan tanpa takut dan curiga. Rindu kedamaian tampa trauma batin

Lalu bagaimana menghadapi para remaja ? Mari kita dengar cetusan lewat puisi “Ketika Meminangmu “(surat cinta buat Nurhayati ). ” Nurhayati, surat ini kutulis saat  gelombang melabrak layar bidukku, aku berada di antara tumpukan karang, bayang wajahmu segera datang, menjitak testaku, yang lagi pusing, wahai angin kutub ini kabarku, wartakan kabarku di seberang, meminangmu aku punya cara, dengan mahar kesahajaan yang ada “. Ini bait pertama dari ketiga bait yang pernah dibacakannya dialun – alun Kota Kesultanan Bima. (Komodo Pos, 5/11/04). Gara – gara puisi ini, Ganggang yang masih kocak itu, dikerebuti para remaja Bima, yang haus akan seni yang mengalir deras dalam dirinya, tetapi jarang menemukan muaranya.

Itulah secercah sapaan cahaya mata Ganggang. Ia menyapa melalui dunianya. Dan dunia seni. seni sastra. Sastra sebagaimana seni yang lain turut menentukan kategori peradaban suatu bangsa (Tony, Kleden , Pos Kupang, 7/10/05). Tetapi sayang di negeri ini, seni itu bagai kerakap di atas karang. Ini seni hanya menjadi konsumen wisatawan ? Ya,  tidak heran kalau anak negri menjadi garang. Mari kita bangun seni di negeri ini. Kita titip seni di setiap hajataan. Kita titip seni agar menjadi bagian acara kenegaraan. Kita titip seni dari setiap wisuda. Kita titip seni pada setiap perhelatan politik. Kita titip seni pada setiap hajatan kekeluargaan agar kepala tetap segar walau mendengar pesan hambar dari pidato ke pidato .

Terakhir, sebagai sahabat kental ”penyair kocak” ini - begitu saya juluki Sdr. Usman D.Ganggang -  sejak bersama-sama di Undana Kupang, tempo doeloe,  dari hati yang tulus  menyampaikan terima kasih kepada Sdr: Novelis M. Matildis Banda; W. Berybe pengamat sastra; Tony si Wartawan Kupang News; Dyla Lalat si penyair kelahiran Bima;   Yan Sehandi kritikus sastra yang sering  mengapresiasi beberapa  puisi Sdr.Usman D.Ganggang, baik yang tercantum dalam Kompilasi  Puisi ini maupun yang belum dibukukan. Sekaligus, profisiat kepada Sahabat Usman D. Ganggang yang telah berhasil mengumpulkan kembali serpihan puisinya yang tersebar di berbagai harian dan majalah.

*Selamat Ans  adalah pengamat sastra dan  pengawas pendidikian Kupang NTT
Bagikan Berita Ini :
 
Copyright © 2011. Portal Berita Komunitas Babuju . All Rights Reserved.
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Design by Creating Website.