
Oleh : Mustapa Umar*
Mushabaqah Tilawtil Qur’an (MTQ) pada sejumlah kelurahan di kota Bima hampir rampung, kembali bertanding pada tingkat kecamatan. Kabupaten Bima bahkan sudah melangsungkan MTQ antar kecamatan di kecamatan Wera. Semangat religius Bima patut diancungi jempol, dibanding daerah-daerah lain di NTB, Khususnya dalam melangsungkan MTQ.
Sejauh pengamatan saya, setiap pembukaan dan penutupan, diwilayah kerja saya selaku penyuluh (kecamatan Mpunda), ataupun membaca beberapa informasi tentang MTQ di luar wilayah kerja saya lewat media-media cetak, pejabat mempromosikan gerakan “Bima berjakat, Maghrib Mengaji” saat sambutan. Panitia dalam laporan biaya pelaksanaan, tidak tanggung-tanggung menyebut angka bahkan sampai 30-an juta rupiah. Selain biaya, panitia terkesan “menonjolkan” kemewahan panggung MTQ masing-masing.
Namun, tampa kita sadari, atau bahkan mungkin sudah disadari, kita diam saja. Seolah-olah tidak masalah, bahwa peserta yang ikut jauh dari jumlah presentase Kepala Keluarga (KK). Hal yang ironis, malah pesertanya kiriman dari kelurahan lain. Belum lagi masalah ”Pemerataan” juara setiap RT dan RW, bahkan pemotongan biaya atau hadiah tidak sesuai dengan jumlah yang dikeluarkan.
Masalah-masalah ini secara tidak langsung menciderai hakekat dan tujuan MTQ. Setiap sambutan, Wakil Wali kota Bima, H.A.Rahman, selalu menekankan agar anak-anak dan masyarakat berjiwa Qurani. Kita sepakat, bahwa jiwa-jiwa Qurani adalah jiwa perilaku dan tindakan yang berlandaskan Al-Quran. Dalam Al-Quran sudah jelas, bagaiman batas aurat, batas pergaulan lain jenis dan bagaimana kita menghormatinya, termasuk menghormati masjid.
Ada beberapa MTQ yang dihelat pelataran Masjid, kalau kita melihat wanita-wanita yang mengisi acara, tampa kita sadari ada yang haid (datang bulan), dan dengan leluasa naik ke masjid dengan sandal/sepatu. Ini mengakibatkan kenakjisan (hukmiah) pada lantai masjid. Masalah aurat, para penonton wanita cukup menggunakan celana pendek, ketat dan menujukkan lekuk-lekuk gemulai tubuh. Belum lagi tidak jauh dari panggung MTQ, mereka asyik berduaan dengan pacar masing-masing yang belum tentu sah dan masih haram bagi mereka.
Hal-hal seperti ini, saya temukan banyak pada setiap pelaksanaan MTQ. Seperti berbanding terbalik dengan Hakikat, makna, dan tujuan dilaksanakannya MTQ, yakni untuk mengagungkan syiar-syiar islam, kemuliaan firman Allah yang dilantunkan para Qari dan Qaoriah. Seharusnya semangat mereka patut di dukung dengan lingkungan Qurani juga. Namun, kalau keadaannya seperti ini, maka belum membuahkan hasil syiar yang yang tepat, hanya seleksi dan menghabiskan dana saja. Mari kita berpikir ulang, tentang konsep dan manajemen dan setiap pelaksanaan MTQ yang digelar, agar disamping mencari penerus agama yang mencintai Al-Quran juga masyarakat yang memuliakan kandungan Al-Quran.
Beberapa media cetak, memberitakan tentang penyakit sosial yang semakin meluas, dari siswi SMP yang merokok sampai ”semak belukar mesum” di sekitar paruga Nae kecamatan Woha yang didesak masyarakat dirazia. Belum masalah penggunaan Narkoba, Sofi, Dextro, minuman Keras (Miras),sampai free sex yang mengakibatkan aborsi. Kos-kosan yang terkesan bebas, tampa mengindahkan peraturan ’tamu harus lapor 1x24 jam pada RT atau RW setempat’.
Hal-hal inilah sebenarnya yang perlu dicarikan perimbangan dengan nuansa yang kita bina selama ini. Agar MTQ yang diselenggarakan setiap tahun menjadi tuntunan, bukan sekedar tontonan. apalagi, semakin tahun peminat dan peserta MTQ setiap kelurahan, semakin menurun dan kualitas masih dalam tanda Tanya. Mari kita jadikan Bima kembali harum pada masa ustadz H. Ramli Ahmad, Bima menjadi daerah Qurani dan Madani. insya allah.
*Penulis adalah penyuluh Agama Islam KUA Kecamatan Mpunda Kemnag Kota Bima
(Dimuat pula oleh harian media Cetak Bima Ekspres, kolom Opini, 25/06/2011)