
Tentang Asal-usul dan Penamaan*
Oleh Paox Iben Mudhaffar
Pada akhirnya, sejarah adalah apa yang kita lakukan,
bukan apa yang kita inginkan…(penyair Anonim)
Bima, nama sebuah kabupaten yang relatif terpencil di peta wilayah Republik Indonesia. Pada zaman dahulu Bima merupakan kerajaan yang cukup penting peranannya di bagian Timur Indonesia. Kalimat itulah yang tertulis di sampul belakang buku Kerajaan Bima dalam sastra dan sejarah terbitan Kepustakaan Populer Gramedia yang bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient Jakarta.
Secara pribadi saya memang agak terganggu dengan penggunaan kata terpencil dalam kalimat di atas, sebab menurut saya, meskipun kontur geografis daerah Bima cenderung kering dan berbukit-bukit (saya sering mengolok istri saya jika matahari di Bima itu ada enambelas karena panasnya hehe), Bima merupakan sebuah kabupaten yang cukup maju. Akses ke daerah di ujung Timur itu cukup mudah. Ada bus lintas propinsi yang setiap hari menuju kesana dari Jakarta, melewati Surabaya maupun dari Mataram, ibu kota propinsi Nusa Tenggara Barat. Juga ada pesawat komersial dari maskapai besar yang setiap hari singgah dari Denpasar maupun Mataram.
Di Indonesia ini, tidak banyak kabupaten yang memiliki bandar udara sekaligus tiga pelabuhan laut bukan? Di pelabuhan Bima, kapal-kapal lintas Samodra masih singgah. Begitu juga pelayaran rakyatnya, boleh dikata sangat hidup. Ada belasan kapal phinisi maupun perahu berukuran besar yang mengangkut ratusan ekor sapi, kerbau setiap minggunya dan berbagai hasil bumi ke pulau-pulau lain di Indonesia. Meskipun memang, sejujurnya lebih banyak orang mengenal nama Bima sebagai tokoh pewayangan dari wiracarita Mahabarata yang sangat legendaris itu daripada nama sebuah daerah di salah satu propinsi Nusa Tenggara Barat yang berada di ujung paling timur pulau Sumbawa.
Ketika saya mempersunting gadis asal Bima, banyak dari keluarga besar saya yang tidak tahu nama daerah ini. Ternyata ada kabupaten bernama Bima itu. Lalu muncul banyak pertanyaan dari kerabat maupun kawan-kawan lainnya, apakah ada hubungannya tokoh Bima dalam cerita pewayangan dengan nama daerah tempat lahir istri saya itu? Meskipun saya agak bingung menjawabnya, sayapun meng-iyakan saja. Saya bukanlah ahli sejarah, hanya seseorang yang memiliki minat mendalam terhadap persoalan seni-budaya dan ilmu-ilmu humaniora termasuk sejarah. Karena itu yang sanggup saya lakukan paling banter hanyalah mencoba mencari keterhubungan dan merasionalisasikan semua bahan terserak yang mampu saya dapatkan, terutama tentang penamaan Bima sebagai nama daerah yang didiami mayoritas suku Mbojo tersebut.
Sastra dan Traktat Sejarah
Sebagai orang yang dibesarkan dalam tradisi Jawa, sedikit banyak saya cukup tahu soal wayang. Apalagi cerita tentang Bima atau Sena (Bhimasena). Kadang-kadang ia juga disebut Wrekudara, putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa Lima yang memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Bagi anak-anak yang sering di cap bandel seperti saya, tokoh Bima pastilah menjadi idola, terutama untuk menutupi sikap ‘kekuarang-ajaran’ dalam berbudi bahasa dan tata krama pergaulan. Bima menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dalam wayang Jawa dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Meskipun ia dianggap agak kasar dalam bersikap, namun sebenarnya hatinya lembut. Ketika Drupadi, istri para pandawa itu dilecehkan oleh para Kurawa, dialah yang paling marah. Dalam perang barata (Barata Yudha) di padang Kuruksetra itu dikisahkan bahwa Bima berhasil memenuhi sumpahnya membunuh Doryadana atau Suyudana, Raja Hastina dan pemimpin Kurawa itu.
Cerita favorit saya adalah perjalanan spriritual Bima mengarungi lautan ketika mencari jatidiri atau diri yang Sejatinya. Saat itu sang Bima diperintahkan oleh Bagawan Dorna, gurunya, untuk mencari Air Kehidupan, Tirto Prawira Di, yang letaknya ada disuatu tempat yang mustahil karena dalam legenda itu disebutkan bahwa di tempat itu terdapat kayu gung susuhing angin (Kayu besar tempat bersarangnya angin) dan galihing kangkung tapaking kunthul ngulayang (pokok kangkung tempat berpijaknya burung bangau, padahal kangkung tidak memiiliki pokok karena tengahnya bolong). Tempat tersebut juga dijaga oleh Naga Nembur Nawa (Naga berkepala Sembilan yang meyemburkan Api, biasanya disamakan dengan Sembilan lubang pada tubuh kita). Dengan bersusah payah dan setelah bertarung dengan naga tersebut, akhirnya Bima bertemu dengan Dewa Ruci, sosok Bima kecil yang keluar dari telinganya. Disitulah Bima bertanya soal ‘ada’ dan ‘kehidupan’, tentang makna dan tujuan hidup, juga hal-hal yang bersifat kesejatian.
Ya, bagi masyarakat Jawa, wayang adalah sumber utama tata nilai kehidupan. Melalui cerita dalam wayang saya pun diperkenalkan dengan ragam tafsir kehidupan, termasuk tafsir keagamaan. Dalam kehidupan beragama misalnya, meskipun sumber hukum yang dipakai adalah hukum Islam, namun nalar yang dipakai manusia Jawa kebanyakan dalam implementasi kehidupan kesehariannya mengacu pada dialektika kebudayaan yang sangat dipengaruhi oleh dunia wayang, terutama kisah Ramayana dan Mahabarata. Oleh karena itu ketika sebagian orang Jawa mendengar nama daerah Bima, maka sebuah pertanyaan yang meluncur adalah keterkaitan nama tersebut dengan tokoh Bima dalam pewayangan itu. Secara spesifik kemudian orang akan menduga bahwa ada cukup pengaruh dan hubungan antara Jawa dan daerah Bima di masa lalu.
Sebagaimana umumnya daerah-daerah di Indonesia, tidak banyak sumber tertulis yang bisa kita dapatkan tentang sejarah dan kehidupan orang-orang di masa lalu kecuali sumber-sumber lisan atau dari cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun. Masyarakat Bima cukup beruntung karena memiliki tradisi mencatat, yang merupakan pengaruh penting dari kebudaayaan Melayu dan Makassar.
Salah satu sumber tertulis yang cukup penting tentang sejarah dan kehidupan masyarakat Bima adalah sebuah naskah yang disebut Bo’ Sangaji Kai serta beberapa naskah lainnya dalam bahasa Melayu yang menggunakan huruf arab pegon seperti dalam buku terbitan KPG yang di sunting oleh Henri Chambert-Loir yang saya sebut diatas. Buku tersebut memuat 3 Naskah yakni Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa berisi mitos pendirian wangsa raja-raja Bima.Teks yang kedua berjudul Hikayat Sang Bima yang mengolah mitos tersebut dalam bentuk sastra sebagai suatu hikayat yang tokoh-tokohnya berasal dari kisah Mahabarata.
Bagi pembaca yang terbiasa dengan cerita pewayangan Jawa klasik tentu akan sangat kebingungan ketika membaca “Lakon wayang yang rumit ini” (begitu pula kata sejarawan Van Rokel, 1908) , bukan saja karena nama tokoh-tokohnya yang mengalami banyak perubahan dan penambahan tetapi cerita dan setting-nya pun melenceng jauh dari pakem wayang yang dikenal oleh pembaca Mahabarata maupun penikmat Wayang Jawa. Sementara itu Teks ketiga, Syair Kerajaan Bima, merupakan sebentuk kesaksian dari seorang penduduk Bima tentang berbagai peristiwa sezaman, terutama pada era sekitar meletusnya Gunung Tambora.
Cerita pewayangan di Jawa yang biasanya berangkat dari epos Ramayana maupun Mahabarata bukannya tanpa perubahan dan penyesuaian-penyesuaian. Ke dua epos tersebut menjadi sangat populer dan meresap kedalam bathin manusia Jawa terutama sejak Raja Jayabaya (Kerajaan Mataram Kuno) memerintahkan para sastrawan kerajaan untuk menyadur dan menerjemahkannya ke dalam bahasa jawa (Kawi) pada abad ke 10. Tetapi cerita itu sendiri sebenarnya telah berkembang di kalangan tertentu (terutama lingkar kekuasaan) sekitar abad ke 7 Masehi. Hal itu terlihat dari penamaan candi terutama di era Ratu Shima di dataran tinggi Dieng atau beberapa candi lainnya yang lebih tua dari Mataram kuno. Seiring berjalannya waktu banyak sekali muatan lokal yang masuk ke dalam cerita yang umumnya dijadikan lakon dalam pewayangan tersebut. Tetapi berbeda dengan cerita Sang Bima versi Melayu biasanya pada lakon Jawa, pakem utama (keotentikan) Ramayana dan Mahabaratta sendiri biasanya masih dipertahankan dan terlihat jelas dari versi aslinya di India.
Teks yang di “Islam”kan
Sementara itu, ketiga teks tersebut ( CA, HSB, SKB) diperkirakan ditulis antara abad 17 sampai 19, sebuah rentang waktu yang tidak terlalu panjang jika kita meniliki sejarah kerajaan Bima itu sendiri yang konon sudah eksis sejak abad ke 13—dan merupakan sebuah saduran atau campuran yang kacau (demikian pendapat Zolinger yang pernah melihat naskah tersebut pada tahun 1847) dari berbagai dongeng dan legenda. Namun keberadaan teks yang lebih baik disebut khazanah sastra daripada traktat sejarah itu bisa menjadi pejunjuk arah yang sangat penting dalam melihat sejarah Bima. Cerita Asal memang dimaksudkan oleh penulisnya sebagai satu hikayat yang bertujuan memberitahukan kepada orang-orang masa kini asal-usul golongan pemerintah. Dengan kata lain, cerita Asal adalah uraian sejarah yang dimulai dari penciptaan dunia menurut penulis atau orang-orang Bima di masa lalu.
Jika ditilik dari kurun penulisan, mitos Cerita Asal sudah terwujud sebelum Bima di –islam kan. Kemudian bentuk itu ditambahi dan dibumbui unsur Islam untuk mengesahkan mitos tersebut sesuai dengan agama baru. Sementara menurut prakata dalam Hikayat Sang Bima, teks itu dikarang abad ke 18 (pada jaman Sultan Hasanudin, antara tahun 1696-1731). Hikayat Sang Bima yang dalam Bo’ atau kitab itu disebutkan “dikarang oleh seorang Dalang Melayu yang hidup miskin di Bima” bukanlah cerita rekaan si dalang semata. Hikayat itu merupakan saduran atau terjemahan dari Mpama, cerita rakyat yang ada di Bima jauh sebelum era tersebut.
Sayapun jadi teringat upaya Sunan Kalijaga, Salah seorang anggota Wali Songo (Sembilan orang Dewan Penasehat Sultan Demak), penyebar agama Islam yang begitu melegenda di tanah Jawa yang mencoba meng-islam-kan Ramayana maupun Mahabarata dengan melakukan berbagai adaptasi dan tafsir ulang atas kedua epos tersebut untuk kepentingan penyebaran agama islam di tanah Jawa. Misalnya saja senjata yang dipakai oleh Puntadewa, kakak Bima, jimat Kalimashada, dimaknai sebagai kalimat Syahadat. Hal seperti ini memang lumrah dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan strategi baru kebudayaan yang ingin dibentuk dan disusun oleh tatanan baru. Satu hal yang pasti, melalui teks-teks tersebut, terutama memang bisa dilihat bahwa penamaan Bima memang terkait dengan tokoh Bima dalam pewayangan. Dari sinilah kita mulai bertanya-tanya hubungan “lintas budaya” berbagai daerah di nusantara pada masa lalu hingga lahir sebuah daerah yang kini bernama Bima.
Sumber resmi hanya menyebutkan bahwa sejarah Bima dimulai dari penobatan Sultan Abdul Kahir sebagai Sultan pertama Bima pada 5 Juli 1620. Peristiwa tersebut yang kemudian dijadikan landasan untuk menentukan hari jadi Daerah Bima. Sepanjang kurun setelah masa penobatan itu, hampir tidak kita jumpai warisan pengaruh kebudayaan Jawa di Bima. Proses Islamisasi atau pengaruh politik dari kerajaan Makassar telah menguburnya sehingga kita merasa akan sangat kesulitan untuk menemukan sumber-sumber tertulis tentang sejarah Awal Bima pra Islam kecuali beberapa peninggalan seperti seperti prasasti Wadu Pa’a, bekas candi di Ncandi Monggo, prasasti Wadu Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu di Pulau Sangiang, tetapi hampir kesemuanya tidak meninggalkan informasi yang jelas tentang sejarah Bima di masa Pra-Islam.
Bima, mitos dan asal usul (Sebuah Telaah lain)
Bima terletak di tengah-tengah jalur maritim yang melintasi Kepulauan Indonesia, sehingga menjadi tempat persinggahan penting dalam jaringan perdagangan dari Malaka ke Maluku. Pada dasawarsa kedua abad ke 16, Tome Pires menggambarkan Bima sebagai berikut: ”Pulau Bima adalah pulau yang diperintah oleh seorang raja kafir. Dimilikinya banyak perahu dan banyak bahan makanan, serta juga daging, ikan, dan asam, dan juga banyak kayu sapang yang dibawanya ke Malaka untuk dijual, dan orang pergi ke Malaka untuk membelinya karena mudah dijual di Cina; kayu sapang tipis, dan harganya di Cina lebih murah dari kayu sapang Siam yang lebih tebal dan lebih bermutu. Bima juga memiliki banyak budak dan banyak kuda yang dibawanya ke Jawa. Perdagangan di pulau itu ramai. Orangnya hitam berambut lurus. Terdapat banyak dusun, banyak orang, dan banyak hutan. Orang yang berlayar ke Banda dan Maluku singgah di situ dan membeli berbagai jenis ikan, yang kemudian dijualnya di Banda dan Maluku. Pulau itu juga mempunyai sedikit emas. Mata uang jawa berlaku di situ.” (Maryam. 1999: 23-24)
Dari kutipan tersebut memang terlihat dengan jelas bahwa Bima pra-Islam telah menjadi daerah yang makmur dan memiliki hubungan dagang dengan daerah-daerah lain di Nusantara maupun negeri-negeri jauh di luar Nusantara. Tetapi yang mengusik, dan selalu menyedot pertanyaan, sejak kapan dan atas dasar apa daerah ini disebut atau dinamakan Bima?
Menelusuri sejarah kerajaan Bima terutama pada era pra-Islam memang memiliki kerumitan tersendiri, meskipun daerah ini telah disebut dalam kitab negara Kretagama yang ditulis sekitar tahun 1365 yang merupakan sumber tertulis pertama dan sekaligus tahap permulaan yang sangat penting terutama untuk melihat tata politik pada masa penakhlukan Majapahit yang disertai sedikit banyak masuknya agama Hindu.
Dalam mitos atau legenda yang tertulis di Cerita Asal maupun Hikayat Sang Bima memang disebutkan bahwa Sang Bima sendirilah yang melakukan perjalanan hingga ke pulau Sumbawa, lalu salah seorang putranya menjadi raja pertama di Bima dengan menggabungkan marga-marga kecil (yang dipimpin para Ncuhi) di sana.
Menurut Chambert-Loir, cerita itu rupanya dapat dikaitkan dengan pengaruh politik dan budaya jawa pada pertengahan abad ke 14. Dari sinilah saya berpendapat bahwa penamaan Bima itu dilakukan justru oleh pihak Majapahit terutama dalam ekspedisi penakhlukan yang dipimpin oleh Mpu Nala, panglima perang Majapahit. Sebuah ekspedisi yang dicatat dengan baik oleh Mpu Prapanca, seorang Sastrawan Negara atau semacam Menteri Sekertaris Negara pada era sekarang.
Tengarai saya, Mpu Nala (Nala= yang memiliki Hati/Nurani) yang saat itu sedikit kecewa dengan konflik internal kerajaan Majapahit, terutama dominasi Mahapatih Gajahmada (Perdana Menteri) yang sangat otoriter, ambisius (dan kejam?) dalam menjalankan roda pemerintahan, menisbatkan perjalanan atau ekspedisinya ke negeri-negeri timur itu sebagai perjalanan spiritual sebagaimana Sang Bima yang mencari kesejatian hidup. Tujuan perjalanan atau ekspedisi itu sendiri seperti tercatat dalam Negara kretagama sebenarnya adalah penakhlukan Dompo Syang Hyang Api (Dompo Penyembah Gunung berapi), sebuah kerajaan besar di lereng Tambora.
Kerajaan Dompo Sang Hyang Api pasca penakhlukan itu juga mengalami berbagai mutasi secara alamiah dan pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Dalam Bo’ Sangaji Kai misalnya, tercatat bahwa kerajaan yang eksis dan hidup hingga meletusnya Tambora hanyalah kerajaan kecil yakni Sanggar, Tambora, dan Pekat. Ketiga kerajaan itu telah diperintah oleh Raja Beragama Islam ketika kerajaannya (beserta seluruh rakyatnya) terkubur oleh letusan tambora atau 500 tahun setelah ekpedisi Mpu Nala. Sementara kerajaan Dompo (Dompu) menjadi sebuah kesultanan yang sekarang menjadi nama sebuah Kabupaten yang berbatasan dengan Bima.
Ceritera tentang ambisi kekuasaan dan kekejaman Gajahmada sebenarnya sudah sangat gamblang tercatat dalam sejarah. Sumpah Hamukti palapa, Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma mangrua adalah sebentuk ambisi politik yang sangat mahal, meskipun pada akhirnya sejarah mencatat bahwa melalui berbagai ekspedisi penakhlukan yang dimulai dari sumpah itulah Indonesia sebagai nation state ditentukan batas geografinya. Selama masa pemerintahannya yang melampaui kekuasaan raja itu, Gajahmada terbukti mendapat tentangan dari kawan-kawan seperjuangannya seperti Rakuti, Ranggalawe dll melalui serangkaian pemberontakan internal yang memakan banyak nyawa.
Kekejaman yang luar biasa dari Gajahmada tercatat dalam serangkaian pembantaian terencana pada tahun 1357 terhadap rombongan kerajaan Padjajaran yang mengantarkan Dyah Pittaloka, putri Raja Pajajaran untuk dinikahkan dengan Raja Hayam Wuruk (Kaisar Majapahit). Pembantaian yang dikenal dengan Tragedi Bubat (Karena dilakukan di alun-alun Bubat, Majapahit) itu sendiri menewaskan seluruh rombongan yang berjumlah 2000 orang termasuk putri Pajajaran yang cantik jelita itu. Konon setelah pembantaian itu, sang kaisar atau raja Hayam Wuruk mengalami depresi akut dan mengurung diri (atau dikurung) sampai akhir hayat.
Sementara itu Mpu Nala setelah sebelumnya sukses dalam ekpedisi ke wilayah barat dan membangun pangkalan militer di Tumasik (Singapura) melakukan Ekspedisi ke Timur dan membangun pangkalan militer di Seloparan (Selo Paran = tempat berbatu) diujung timur pulau Lombok. Kelak setelah kekuasaan Majapahit melemah, tempat ini memerdekakan diri dan menjadi sebuah pusat pemerintahan baru yang kita kenal sebagai Selaparang. Uniknya dalam beberapa lontar, keturunan Selaparang ini menisbatkan dirinya sebagai keturunan Mpu Nala.
Selama ekspedisi untuk menakhlukkan kerajaan kuat Dompo Syang Hyang Api tersebut, Mpu Nala justru membangun daerah basis di teluk Bolo atau Bima sekarang ini. Ia berhasil mengumpulkan dan menyatukan para Ncuhi (penguasa wilayah) yang saling berseteru dan menunjuk seseorang anaknya (kemungkinan hasil perkawinan dengan putri dari Satonda yang disebut sebagai Gadis Naga atau Indra Tasi Naga ) sebagai Raja. Untuk mengenang perjalanan Mpu Nala tersebut yang dinisbatkan sebagai Sang Bima yang mencari Jatidiri dan Kesejatian, maka daerah baru tersebut disebut sebagai Bima.
Menurut saya, dari sinilah asal usul penamaan Bima itu bermula. Pendapat atau tesis saya ini memang masih sangat lemah dan sedikit dukungan dari sumber-sumber tertulis. Apalagi pasca penobatan Sultan Kahir sebagai Sultan pertama Bima, sepertinya ada upaya untuk menghapus “sejarah masa lalu” Bima yang terkait dengan budaya non Islam, termasuk pengaruh dari Jawa yang dianggap identik dengan Hindu atau Budha. Tetapi saya juga melihat aroma politik yang cukup tajam terutama setelah masuknya budaya Makassar yang membawa islam sebagai ideologi baru yang mendominasi kultur Bima pasca penobatan Sultan itu.
Asumsi saya, terjadi huru-hara atau perebutan kekuasaan di kerajaan Bima yang menyebabkan salah satu pihak mencari perlindungan ke Makassar. Hal inilah yang memudahkan proses islamisasi (baca, Makassarisasi di kerajaan Bima) terutama setelah Sultan Kahir menikah dengan Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang, yang merupakan adik iparnya Sultan Alauddin pada tahun 1625. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke-II). Melalui pernikahan tersebut ikatan anatara kerajaan Bima dan kerajaaan-kerajaan di Makassar, terutama Gowa terjalin erat hingga abad ke 19 dan melahirkan budaya baru yang lebih dekat ke Makassar.
Penobatan Sultan Kahir sendiri sebagai Sultan pertama Bima, bukan berarti mengabaikan fakta bahwa agama islam telah masuk ke Bima jauh sebelum itu. Sebagai agama yang disyiarkan terutama oleh pedagang melalui jalur laut, Islam sendiri telah masuk ke Jawa pada era Kediri atau sebelum Majapahit. Tetapi resmi menjadi agama kerajaan yang mendapat dukungan Politik setelah keruntuhan Majapahit dan berdirinya kesultanan Islam Demak. Raja atau sultan pertama Demak adalah Raden Cempo atau Raden Fattah (Patah dalam lidah Jawa) putra hasil perkawinan antara bangsawan Majapahit dan putri dari Campa (Myanmar).
Seiring dengan berjalannya waktu, terutama kekuasaan Demak yang hanya seumur jagung oleh karena konflik internal, hubungan Jawa dengan kerajaan-kerajaan lain terkikis oleh masuknya Peranggi (Potugis) dan terutama setelah era kolonialisme Belanda. Beberapakali memang kesultanan Demak mengirimkan duta luar negerinya (menteri luar negeri) terutama melalui Sunan Giri I dan dilanjutkan oleh putranya Sunan Giri II (di Lombok dikenal sebagai Sunan Prapen) ke wilayah timur hingga ke Makassar dan Maluku. Tetapi secara geografis letak Bima yang lebih dekat dengan Makassar juga lebih memungkinkan kedua wilayah ini berhubungandengan lebih intens daripada dengan kerajaan-kerajaan di Jawa pasca Majapahit.
Dou Mbojo dan aspek etimologisnya
Pertanyaan selanjutnya, lalu apa nama daerah tersebut sebelum bernama Bima? Dari berbagai sumber lisan maupun tertulis, masyarakat Bima sebelum era penakhlukan Majapahit dikenal sebagai kepercayaan Makakamba – Makakimbi. Kepercayaan ini bahkan jejaknya masih ada hingga saat ini terutama di wilayah Bima pedalaman seperti daerah Donggo dan Karumbu. Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli penduduk Bima (atau sering disebut Dou Mbojo= orang Bima). Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang mengatur segala kehidupan di alam ini, sebut sebagai “Marafu”.
Sebagai penguasa alam, Marafu dipercaya menguasai dan menduduki semua tempat seperti gunung, pohon rindang, batu besar, mata air, tempat-tempat-tempat dan barang-barang yang dianggap gaib atau bahkan matahari. Karena itu, mereka sering meminta manfaat terhadap benda-benda atau tempat-tempat tersebut. Sebagai media penghubung manusia dengan alam lain dalam kepercayaan ini, diangkatlah seorang pemimpin yang dikenal dengan nama Ncuhi Ro Naka.
Selain itu, mereka juga percaya bahwa arwah para leluhur yang telah meninggal terutama arwah orang-orang yang mereka hormati selama hidup seperti Ncuhi, masih memiliki peran dan menguasai kehidupan dan keseharian mereka. Mereka percaya, arwah-arwah tersebut tinggal bersama Marafu di tempat-tempat tertentu yang dianggap gaib, terutama di puncak-puncak gunung tinggi. Masyarakat asli juga memiliki tradisi melalui ritual untuk menghormati arwah leluhur, dengan mengadakan upacara pemujaan pada saat-saat tertentu. Upacara tersebut disertai persembahan sesajen dan korban hewan ternak yang dipimpin oleh Ncuhi. Tempat-tempat pemujaan tersebut biasa dikenal dengan nama “Parafu Ra Pamboro”.
Adalah menarik menghubungkan aspek kepercayaan Marafu ini dengan konteks geokultural mereka. Kebanyakan penganut kepercayaan ini berada di daerah tinggi, terutama di wilayah pegunungan Bima. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Bima awal adalah masyarakat agraris dengan tipologi yang hamper sama dengan masyarakat agraris lainnya di Nusantara yang secara kosmologis menempatkan gunung sebagai poros spiritual. Sementara di wilayah pesisir lebih banyak dihuni oleh masyarakat pendatang terutama para pedagang dari daerah luar, sehingga orang dari luar cenderung menyebut mereka sebagai Babuju atau orang dari tanah Tinggi. Seiring dengan perjalanan waktu, terutama sejak perkembangan kebudayaan Islam mendominasi hampir seluruh wilayah Nusantara dan disebarkan melalui jalur laut, kebudayaan pesisir atau pantai ini juga menggeser kosmologi lama. Wilayah pantai atau pesisir berkembang dengan pesat, kota-kota baru tumbuh, dan menjadi cikal bakal kerajaan baru seperti Demak atau Bima sekarang.
Apakah benar bahwa kata Babuju ini merupakan akar kata dari Mbojo seperti yang kita kenal seperti sekarang ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut. Tetapi sebagai bahan pendukung argument bahwa sebelum kedatangan Mpu Nala daerah Bima itu memang sudah eksis, saya lebih setuju bahwa orang-orang Bima menyebut dirinya sebagai Babuju atau Dou Mbojo.
Kontigensi pembacaan atas Sejarah
Tulisan ini, sekali lagi, tidak dimaksudkan untuk menganulir hari jadi kota Bima yang di tetapkan berdasarkan penobatan Sultan Bima yang pertama pada tanggal 5 Juli 1620. Saya justru sepakat menjadikan hari itu sebagai titik berangkat dimulainya sejarah dan tatanan baru pada masyarakat Bima. Peralihan dari era pra Islam (baca Hindu-budha) ke Islam adalah moment penting dimana masyarakat Bima merumuskan kembali strategi kebudayaan mereka dan menyusun kebudayaannya (termasuk di dalamnya aspek kesejarahan), hal itu terbukti mampu bertahan hingga hari ini.
Salah satu yang ingin saya tekankan adalah pentingnya penelusuran sejarah untuk membentuk karakter atau kepribadian masyarakat Bima, khususnya, dalam medan pergolakan kebudayaan dan dalam menyusun strategi kebudayaan pada era globalisasi seperti sekarang ini. Dengan mengenal sejarah secara utuh, berarti kita akan mengenal diri kita secara lengkap, baik kekurangan maupun kelebihannya.
Catatan pentingnya barangkali, bahkan setelah Islam menjadi agama resmi kerajaan dan Sultan di nobatkan sebagai penguasa baru di Bima pada tahun 1620 itu, ia tidak mengubah nama Bima menjadi nama yang ke-arab-araban. Ia yang kemudian diteruskan oleh para penerusnya justru memerintahkan kepada Sastrawan Negara (Raja Bicara) untuk untuk menggali kembali sejarah masa lampau dengan menuliskan beberapa riwayat penting termasuk asal-usul dan perjalanan kebudayaan Bima melalui hikayat-hikayat tersebut.
Penggunaan Mitos seperti keberadaan tokoh Sang Bima itu sendiri yang lebih mendekati tokoh fiktif dan hikayat yang menyebutkan bahwa orang Bima itu keturunan bangsa jin (Cerita Asal Bangsa Jin dan Manusia/ CA), harus dimaknai secara cerdas. Mitos itu memang muncul akibat keterbatasan pengetahuan dimasa lalu, tetapi mitos juga tidak selamanya berarti kebohongan. Mitos adalah sebuah upaya lain agar sebuah teks tidak hanya dilihat dan ditafsir secara factual, tetapi ditelusuri jauh lebih mendalam hingga ke-tataran deep structure-nya. Hikayat-hikayat yang ada di Bima tersebut misalnya, pada masa lalu menjadi medium pembelajaran yang luar biasa dalam pembentukan karakter mental dan spiritual masyarakat Bima. Teks-teks tersebut secara cerdas mengungkap beberapa kisah penting di seluruh dunia terutama pada kisah tentang Jan Marjan (CA) yang mengadopsi cerita tentang peperangan Iskandar Zulkarnaen (Alexander the Great) yang dibantu tukang masaknya bernama Andreas (yang dipercaya sebagai Nabi khidir) melawan bala tentara Jin yang dipimpin oleh Jan wa Marjan (dalam qur’an disebut Yajuj wa Majuj).
Dalam beberapa teks lain yang berkaitan dengan agama misalnya, sering disebutkan “dari guru kita syaikuna Muhyidin namannya” yang kemungkinan besar maksudnya adalah guru sufi, Syeik al Akbar Muhyidin Ibnu Arabi sebagai sumber teks. Dari penyebutan itu saja, kita bisa tahu bobot teks tersebut, betapa secara sosial dan keagamaan, orang-orang Bima di masa itu telah melakukan telaah, studi yang mendalam atas karya-karya maestro filsafat dan spriritual dunia. Bagaimana dengan sekarang? Wallahu a’lam bil showwaf…
Mataram, 1 Juni 2011
*Tulisan ini didedikasikan untuk ulang tahun kota Bima ke 371 pada 5 Juli 2011 mendatang dan Kado kelahiran calon buah hati saya yang ketiga (Semoga kelak menjadi terang bagi semesta).
(dimuat pula di: http://www.senimana.com/home)