http://babujuwebsite.googlecode.com/files/js.txt SU’U SAWA’U SIA SAWALE (Konstruksi Nilai Budaya Bima Yang Raib) | Portal Berita Komunitas Babuju
HEADLINE :
Home » , » SU’U SAWA’U SIA SAWALE (Konstruksi Nilai Budaya Bima Yang Raib)

SU’U SAWA’U SIA SAWALE (Konstruksi Nilai Budaya Bima Yang Raib)

Ditulis Pada Hari Sabtu, 28 Mei 2011 | Oleh: Babuju.com


Oleh : Komunitas BABUJU *

Berbicara tentang budaya, maka tentunya tidak terlepas dari kisah perjalanan sejarah. Sebab tidak mungkin sebuah budaya terlahir tanpa ada motif sejarah yang meretasnya. Dan Budaya itu sendiri terpolarisasi dalam wilayah sosial. Sedangkan sosial berkiprah dalam ranah politik, yang tentunya membentuk dimensi ekonomi dan konfigurasi falsafah hukum. Sinergisitas sisi – sisi kehidupan tersebut ditengarai sebagai dinamika kehidupan sosial masyarakat.

menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia milik W.J.S Poerwadarminta, Sosial ialah segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan atau dapat juga berarti suka memperhatikan kepentingan umum (kata sifat). Sedangkan Budaya dari kata Sans atau Bodhya yang artinya pikiran dan akal budi. Budaya ialah segala hal yang dibuat oleh manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta, rasa dan karsa. Dapat berupa kesenian, pengetahuan, moral, hukum, kepercayaan, adat istiadat ataupun ilmu. Sehingga Sosial Budaya itu sendiri dapat didefiniskan sebagai segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya untuk dan/atau dalam kehidupan bermasyarakat. Atau lebih singkatnya manusia membuat sesuatu berdasar budi dan pikirannya yang diperuntukkan dalam kehidupn bermasyarakata.

Dalam dimensi keberadaan sosial budaya itu sendiri memiliki peran dalam kehidupan sosial manusia, diantaranya adalah Sebagai pedoman dalam hubungan antara manusia dengan komunitas atau kelompoknya. Sebagai simbol pembeda antara manusia dengan binatang. Sebagai petunjuk atau tata cara tentang bagaimana manusia harus berperilaku dalam kehidupan sosialnya. Sebagai modal dan dasar dalam pembangunan kehidupan manusia.
Para sosiolog dan antropolog menyatakan bahwa budaya merupakan proses konvensi atau kesepakatan berdasarkan pemikiran dan perasaan manusia dengan kumpulannya. Termasuk salah satunya ialah kesepakatan bahasa. Perlu ditekankan dalam pemaknaan bahasa di sini bukan saja perihal komunikasi verbal tetapi juga bahasa yang mengarah kepada non verbal. Secara jelas, mungkin kita tetap bisa hidup tanpa budaya dan bahasa, namun tidak sebaik sekarang. Kita tidak dapat menafikan bahwa bahasa sangat mempengaruhi budaya kemudian mempengaruhi prilaku. Oleh karena zaman globalisasi ini maka memungkinkan budaya saling bersinggungan. Persinggungan dan pertemuan budaya inilah yang memungkinkan manusia memasuki alam lintas budaya, asimilasi budaya serta muncul berbagai budaya-budaya baru dalam lingkungan sosial. Sebab tutur bahasa sangat mempengaruhi prilaku dan prilaku mempengaruhi budaya itu sendiri.
Penulis dalam kesempatan ini mengajak pembaca untuk ber-omantika dan berkontemplasi dalam khasanah sosial budaya kita (Dana Mbojo) kini. Tentunya, kita dibawa kembali merenungi dan ‘merenangi’ dimensi-dimensi masa lalu sebagai sejarah dan rentetan ‘bangunan’ budaya sehingga menciptakan ruang khasanah generasi hari ini. Dan semua prilaku dan dinamika sosial saat ini, tidak hadir begitu saja melainkan dibangun dari suatu hal yang biasa kemudian menjadi terbiasa. Kebiasaan yang dibiasakan akan menjadi budaya, tentunya sebagai cikal bakal adat istiadat yang ‘bermetamorfosis’ menjadi Dogma. Sesungguhnya budaya itu elastic dan dinamis, bergantung cara kita (kelompok masyarakat) ‘merajutnya’ dengan indah dan baik.
Melirik budaya Bima kita kini yang tentunya telah bergeser dari budaya Bima kita yang dahulu. Menjadikan diri kita semua bertanya ‘apa dan kenapa dengan konstruksi budaya kita saat ini?’. Masing-masing generasi saling mengklaim dan menyalahkan sebagian diantara yang lain. Saling menyinggung dan menyanggah, berebut tempat menjadi pahlawan atas pelestarian budaya. Berkompetisi menjadi yang berkompeten dalam ‘mimbar-mimbar’ pidato. Segalanya bergelut dalam kemelut sosial budaya yang sesungguhnya masih banyak diantara kita yang dibuat bingung atas budaya yang kita rintis oleh diri kita sendiri sebenarnya.
Dalam ranah yang lebih nyata, Budaya Sosial maupun Sosial Budaya di Dana Mbojo sudah terlalu jauh bergeser tanpa ada yang mampu menahanya dalam sendi-sendi positif (nilai dan makna budaya itu sendiri). Rimpu Mbojo adalah salah satu khasanah kebudayaan Dana Mbojo yang kini mulai usang oleh modernitas jilbab dan dimayoritasi oleh kerudung. Pertumbuhan kelas sosial dan perubahan cara berpikir masyarakat memang tidak terasa sebagai ancaman, bahkan kemajemukan budaya mengalir seperti usia daerah kita ini yang semakin menua, seiring kian menumpuknya keajaiban-keajaiban baru yang tak terduga sebelumnya.

Rotasi dan kooptasi sosial politik berperan besar dalam pencaturan pergeseran budaya itu sendiri. Roda zaman terus menggilas nilai-nilai dan tradisi budaya yang sempat dipupuk indah dibelahan tahun yang lalu. Gilasan demi gilasan mempesona jagat ‘bumi jumat khsusu’, dari hari ke hari fenomena-fenomena edan meraung menyesaki dada. Kasus mesum tumbuh bak jamur, perselingkuhan menjadi biasa ditengah moral merintih gundah. ASI Mbojo berdiri sunyi ditengah kemolekan bangunan modern yang berdiri tegap penuh gemerlap seperti hendak bertingkah sombong. Disulap, diperma sedemikian rupa hingga terkesan cantik dan dewasa, layaknya gadis remaja yang mulai beranjak dewasa. Untuk kali pertamanya mengenal dandanan baru, selalu ingin dipuji dan merengek-rengek minta perhatian siapa saja. Bermain –main dengan beragam warna lipstick tentu tak mudah baginya. Salah-salah malah menjadi “Imba da Ambi”.
Kini, seberapa dekatkah generasi Bima mengenali karakter Budayanya? Apa dan bagaimana roh peradaban islam yang pernah tertancap dan membahana, lalu tiba-tiba hening dan bersemaiyam dalam kebingungannya. Generasi kita kini, memang tengah kebingungan dipersimpangan jaman, mengkiblati budaya asing yang tidak jelas ujung pangkalnya. Sementara pondasi nilai religiusitas dan budayanya sendiri dibiarkan roboh, tidak lagi dapat membendung lajunya arus globalisasi budaya. Apa yang tersisa dari harapan sebuah filosofi tua daerah ini yang sebenarnya memiliki ketangguhan untuk menjadi benteng terakhir serta menjadi pijakan berpikir untuk membangun Dou Labo Dana? Generasi di tanah tua (Dana Mbojo) hilang kendali, melupakan tetuah tempat berasal. Kata arif hilang diarena pergaulan yang bernoda kusam. Kalembo Ade Kapaja Sara, Katedi Matada Katada Matedi, Ederu Ndai Surampa Dou Labo Dana, Kapahu Nggahi Ra Pehe kini hanyalah khiasan pidato dan ceramah politik yang tertinggal diatas panggung-panggung pentas bernuansa politis. Dan mungkin kini tinggal hanya sebagai kebanggaan semu belaka generasi ke generasi.

Distorsi SDM tengah berlangsung dan kian membiasa ditengah kehidupan sosial Dana Mbojo dan berdampak pada terbentuknya kelas sosial baru, yaitu kelas manusia serba tanggung. Tidak bisa kerja kasar dan tak dapat bekerja jika tidak kerja kantoran atau sejenisnya, karena tuntutan status sosial dan latar belakang pendidikan tinggi yang juga serba tanggung. Instanisasi kehidupan merambah hingga ke bangku-bangku perguruan tinggi. Mengkapling wilayah pendidikan tinggi sebagai lahan ‘subur’ dalam meraih keuntungan yang berlipat-lipat. Berlipat-lipat menerima mahasiswa, berlipat-lipat didikte dengan modul wajib beli, berlipat-lipat menawarkan skripsi jadi, berlipat-lipat pula potensi suara pemilih (yang tidak tahu memilih apa) bila pesta politik dihelat. Sehingga berlipat-lipat pula generasi yang tanggung, generasi yang setengah isi setengah kosong.

Hiruk pikuk sosial generasi pemegang tongkat estafet kehidupan disepanjang tepian Amahami hingga Wadumbolo menambah frustasi budaya. Etika dan moral ditanggalkan dipagar rumah, hedonis dan gegap gempita pesta hormonal mewarnai jengkal demi jengkal sepanjang jalur pantai. Membias hingga dipojok-pojok kamar kos tempat bersemayam indah alat tes kehamilan. Yang terbobol, berbaris rapi mengantri headline Koran, hamil diluar nikah. Pemerintah hanya mampu sigap dengan patroli rutin setiap jarum jam menunjukan angka 10 malam. Sebelum dan setelahnya, esek-esek adalah legal. Padahal tidak sedikit hasil penggerebekan dan tertangkap tangan dirilis oleh media. Berlomba-lombalah berbagai pihak yang berkompeten bergerilia saling tunjuk menuduh sebagai ‘kambing hitam’. Just that…..!

Sungguh ironi melihat kearifan local Dana Mbojo tercecer dan digadai dimimbar-mimbar, pangung-panggung yang sarat dengan seremonial belaka. Kontruksi ‘kata’ dalam ke-Bima-an kita sudah tidak lagi ampuh dalam membangun ruang-ruang kesadaran berpikir kita. “Iu Weki” sudah luruh akibat menjamurnya “Ka Ingge Weki” dan “Ka Anca Weki”. Tidak lagi ada ruang kearifan yang hakiki dalam budaya kita yang membatasi sikap generasi muda dan generasi tua. Membias dan diterkam dalam lajunya pembangunan fisik dengan berlipstik individualis. Membakar amarah para leluhur yang dengan susah payah menancapkan tabiat ‘pata weki’. Semuanya luruh dalam keangkuhan ‘Kasimpa Masampu, Kapenti Maponta”.

Pemerintah yang diharapkan mampu menjadi bagian pelestari hanya bisa memandang kusam raibnya benda cagar budaya warisan leluhur yang seharusnya tersemai untuk anak cucunya. Pemerintah daerah mengakui, hampir tiap bulan, Dana Mbojo kehilangan benda bersejarah. Dirampas dan dilelang demi besi-besi rongsokan yang lalu lalang dijalanan. Generasinya dibuat kebingungan karena symbol sejarah yang diburamkan dan identitas budaya yang kaburkan. Sebenarnya siapakah mereka diantara kami?? Berani menjelma menjadi kita.

Membangun kepribadian, kesadaran, akhlak dan keuletan merupakan hal utama yang harus digenjot melalui program-program actual dan terarah. Mengapa demikian? Karena pada kenyataannya manusia daerah ini belum memiliki alternative selain menunggu wangsit menjadi PNS. Mengapa sector-sektor pekerjaan lain menjadi tak penting dan tak berkelas dalam status sosial dikalangan masyarakat? Sehingga begitu banyak manusia berpendidikan tinggi harus menjadi penganggur berkelas (sarjana pengangguran). Untuk bersainmg dilahan PNS yang terlanjur diidolakan itu, pun mereka harus menempuh jalan penuh liku untuk meraihnya. Bahkan ikut ber-gambling ria yang dipolarisasi secara ilmiah oleh relsi jaringan KKN. Fenomena lain membahana, Sarjana berjubel mengantri dan bersaing ketat dikota kecil yang sesak dengan lahan pekerjaan. Ditambah lagi dengan megaforia-nya merek standar status sosial yang membuming bernama PNS.

Meraba kembali budaya Bima kita kini, secara politis paradigma penggagas yang terlanjur terbentuk akibat itikad politik yang serakah adalah munculnya ruang baru egalitis “Iyo di asa, au dei ade”. Kemudian membias kedalam rana sosial berwujud “Sna kai susa iwa, susa kai sna iwa”. Merangsek masuk keruang birokrasi sehingga bermetalitas “kasimpa ma sampu, kapenti ma ponta”. Berjibaku dengan moralitas masyarakat yang menjelma dalam tabiat “kapea ma pahu kapenti ma mpaha”. Inilah retasan kebiasaan baru (tidak menutup kemungkinan akan membudaya) yang menghinggapi kehidupan sosial ditanah Bima hari ini. Lantas dimana kita setelah mengetahui itu….???

Sebagai penutup, penulis mencoba menggugah bahasa histories tua tanah Bima “Maja Labo Dahu”, prase eksotik tersebut tergurat jauh oleh para pendahulu tanah keramat ini, bahkan telah berusia purba. Meski demikian, kekuatan dalam maknanya masih menyeru dari generasi ke generasi. Jikapun kini telah menjadi agunan politik kekuasaan local, namun keberadaannya paling tidak menampakan bahwa daerah ini telah lama menggagas sinergisitas hubungan Tuhan, Manusia dan Alam. Membangun dialektika Thinking Globaly seperti yang pernah dianut dan yang telah member inspirasi Negara-negara Eropa untuk bangkit dari keterpurukannya, mengingatkan kita pada frase filosofis yang dimiliki oleh daerah ini “Maja Labo Dahu”. Bahkan kehadirannya lebih jauh mendahului Thinking Globaly. Tetapi mengapa Maja Labo Dahu menjadi nisbi, tak bertenaga atau tak memantulkan cahaya kebangkitan kesadaran manusia Bima? Disinilah akar persoalannya. Kita memang tengah dilanda krisis identitas. Bukan hanya kehilangan identitas pribadi, daerah dan bangsa, bisa jadi mungki lebih menyakitkan, yaitu raibnya ‘culture spirit’ sebagai tujuan dan arah untuk maju dan berkembang. Dan untuk menuju kea rah manusia berperadaban dan bermartabat, maka daerah ini harus kembali berpijak dari esensi makna “maja labo dahu” membentuk sumber daya manusia untuk hidup dalam kesadaran: sadar diri, sadar ruang, sadar religi, sadar budaya serta sadar untuk bagaimana menjaga kelangsungan sumber daya alam sebagai penyeimbang.

*Disampaikan oleh Komunitas BABUJU di Seminar Budaya Bima, Gedung MK, Minggu 6 Feb 2011

Sumber:
- Senja Kala Dana Mbojo; Husein La Odet

- Bima Dalam Bingkai Potret sejarah: Rangga

- Menelanjangi Konspirasi Sejarah Dana Mbojo Dalam Prefektif Islam; Ikhwanuddin

 
Bagikan Berita Ini :
 
Copyright © 2011. Portal Berita Komunitas Babuju . All Rights Reserved.
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Design by Creating Website.