Oleh: JULHAIDIN, SE
Dalam
paradigma kritis, prostitusi merupakan dampak logis dari ketidakmampuan Negara (Pemerintah)
dalam menjalankan kewajiban memenuhi hak-hak masyarakatnya. Maka logisnya,
seluruh mimpi pembumihangusan persoalan pelacuran ini tidak boleh lepas dari
paradigma tersebut. Jika tidak, maka yang akan terjadi tidak lebih dari sekedar
upaya ‘cuci tangan’ negara (Pemerintah) dengan cara yang khas; stigmatisasi dan dehumanisasi pelacur melalui kebijakan publik.
Labeling kemungkaran dari kaum agamais begitu kuat diberikan terhadap
pelacuran, tanpa merasa perlu terlebih dulu diverifikasi secara kritis atas latar
belakang terjadinya dari berbagai perspektif, termasuk HAM dan keadilan gender.
Penulis tergelitik ketika mendengar pemaparan KPA (Komisi Penanggulan Aids) Indonesia
Wilayah Indonesia Timur yang didampingi oleh KPA NTB dan Kadinkes Kota Bima di
aula Kantor Pemkot Bima, Rabu (16/6) yang lalu.
Dalam
presentasi tersebut dikatakan bahwa 5.600 laki-laki Kota Bima pernah ‘memakai’
PSK. Ironinya, 2.750 diantaranya adalah berstatus Suami. Dalam data yang
diekspos tersebut dinyatakan pula bahwa 280 perempuan di Kota Bima bekerja
sebagai PSK. Meskipun menurut data yang dibeberkan bahwa 120 diantaranya adalah
PSK aktif. Lebih ironi lagi dan menjadi ‘tamparan’ bagi warga Kota Bima,
dinyatakan bahwa 900 lelaki di kota Bima adalah Penyuka sesame jenis. Bagi Penulis,
hal ini sudah sangat Kronis dan diambang ketidakwajaran. Sebab, luas Kota Bima
hanyalah 22 km persegi dengan populasi penduduk yang tidak mencapai 150 ribu
jiwa. Penduduk Kota Bima terbagi di 38 Kelurahan pada 5 Kecamatan.
Meski data
tersebut dibantah mentah-mentah oleh Pemkot Bima melalui Kabag Humas, sehari
setelah KPA mengekspos data yang mereka miliki. Begitupun MUI Kota Bima yang
gerah dengan menyatakan bahwa keparahan ini semakin menjadi-jadi.
Penulis teringat
dengan Presentasi hasil Penelitian yang dilakukan oleh Ani Mariani, guru Pembimbing
Konseling SMPN 7 Mataram yang juga adalah Dosen Bimbingan Konseling Fakultas
Ilmu Pendidikan IKIP Mataram, pada pertengahan tahun 2009 yang lalu. Ani Mariani
membongkar melalui hasil penelitiannya bahwa 91 Porsen Siswa/i di Mataram,
Melek pornografi. Kemudian Penulis juga
pernah membaca pada media cetak harian Amanah di Kota Bima bahwa Kepala
Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Dikes Kota Bandung Fetty
Sugiharti, tercatat ada 1.744 orang yang positif mengidap HIV-AIDS sebagian
besar berstatus sebagai pelajar. Dari 1.744 kasus tersebut, 885 orang diketahui
mengidap HIV dan 859 orang adalah penderita AIDS. 3,2 % adalah kalangan siswa
berumur 15-19 tahun. 62 % adalah kalangan Mahasiswa berumur 20-25 tahun.
Umumnya, pengidap HIV-AIDS yang berusia dewasa, telah tertular sejak bangku SMP
atau SMU. (amanat, 20/06/09)
Dan, kita juga tercengang atas
hasil survei Pada tahun 2008, yang di-releas
oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN), M Masri Muadz, sebanyak 63 persen
remaja Indonesia usia SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar
nikah. Begitupun releas yang dikeluarkan oleh Direktur Annisa Foundation, Laila Sukmadevi, sebuah lembaga independent yang bergerak di bidang
kemanusian dan kesejahteraan gender pada
tahun 2010 lalu menyebutkan sebanyak 42,3 persen pelajar di Cianjur (Jawa
Barat) sudah hilang keperawanannya saat duduk di bangku sekolah (SMP & SMU). Yang lebih ironi, diantara
responden mengaku melakukan hubungan seks tanpa ada paksaan atau atas dasar
suka sama suka dan adanya kebutuhan. Selain
itu, ada beberapa responden mengaku melakukan hubungan seks dengan lebih dari
satu pasangan dan tidak bersifat komersil. Meskipun
Cianjur (Jawa Barat) dikenal sebagai kota Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan
Masyarakat Berakhlakul Karimah)
ternyata hasil survei Annisa Fondation tersebut menunjukkan lebih dari 40
persen pelajar perempuan di kota santri itu telah melakukan hubungan seks
pra-nikah.
Dikota Bima, Komunitas Babuju pernah melakukan
Advokasi terhadap 100 orang remaja dan mahasiswa pada 3 Warnet di Kota Bima
(17-20 juni 2009) mendapatkan hasil bahwa 80 persen pengunjung warung internet
(Warnet) menyatakan 1/3 waktu mengujungi warnet dihabiskan untuk membuka situs
pornografi dan pornoaksi. Advokasi ini dilanjutkan dengan investigasi Komunitas
BABUJU pada malam Valentine days
(14/2/2010) dan mendapatkan kenyataan bahwa, 6 dari 8 Apotik se-Kota Bima yang
dikunjungi menyatakan peningkatan permintaan Kondom pada malam tersebut mencapai
20 – 40 Porsen dari hari-hari lain. (www.babuju.com;
Malam
Valentine Di Kota Bima, Kondom Diburu Habis)
Kenyataan pahit lainnya, hingga
akhir tahun 2010 yang lalu, tercatat 28 kasus mesum tertangkap basah maupun
terkena razia aparat yang berwenang. Setidaknya, 12 kasus diantaranya dilakoni
oleh mahasiswa dikota Bima. Kenyataan lain, Setidaknya telah terjadi pergeseran
moral terhadap kehidupan remaja dan Mahasiswa Bima hari ini. Sehingga seks
pra-nikah adalah hal yang biasa dan mewabah dikalangan remaja Bima. Dan kehidupan remaja/mahasiswa Bima tidak
jauh beda dengan Cianjur, Bandung, Bali, Makassar maupun kota-kota besar
lainnya.
Fakta lain yang bisa dijadikan rujukan,
setidaknya di Bima sendiri sejak tahun 2008 hingga pertengahan 2012 ini pernah beredar
5 Video Porno dalam bentuk 3gp. Dan video terakhir yang menghebohkan Dana Mbojo
adalah Video Panas ‘Ora Ari’ yang
kini menjadi trend linguistic ‘keisengan’
warga Bima.
Sehingga bagi Penulis, data yang
diekspos oleh KPA pada 16 juni yang lalu, tidak perlu diherankan lagi. Setidaknya
yang perlu dicatat pula oleh kita semua bahwa jumlah Mahasiswa aktif yang in the kost di Kota Bima saat ini telah
menembus angka 15.000 orang, 62 Porsen diantaranya adalah Mahasiswi dari 8 PTS &
1 PTN yang ada se-Kota Bima saat ini. Oleh sebab itu, MUI Kota Bima harus segera mengambil tindakan tegas atas
persoalan ini. Minimal dengan melakukan kerjasama dengan instansi maupun lembaga terkait dalam rangka meminimalisir
prilaku amoral ditempat-tempat umum. Selain itu, perlu kiranya memperketat
aturan kos-kosan, dengan melakukan koordinasi dengan pihak kelurahan setempat
maupun aparat yang berwajib. Mencontoh daerah Kab Jember, Pengurus Cabang
Nahdlatul Ulama dan Pengurus Daerah Muhammadiyah Jember, Jawa Timur, mendesak
Dewan Perwakilan Rakyat setempat segera menuntaskan peraturan daerah tentang
anak kos. Sebab, dalam beberapa bulan terakhir, fenomena "sex in the
kos", di kalangan mahasiswa Jember semakin marak (Kompas, 17 april 2009).
Semakin kuat dugaan penulis, bahwa fenomena seks pra-nikah bermuara pada
pernikahan sirri, atau perselingkuhan
yang tiada akhir serta Peningkatan ’jajan’ diluar rumah, menjadi suatu fenomena
yang tidak habis dibahas. Hal ini bisa ditinjau dari angka perceraian yang
cukup tinggi. Dari tahun 2009 hingga 2011 yang lalu, angka cerai tidak pernah
dibawah angka 1.000 pasangan bercerai di PA Bima.
Menurut penulis, ini perlu disikapi bersama. Pendidikan normatif, budi
pekerti dan agama memang sangat perlu buat bisa mencegah berbuat yang yang
bertentangan dengan norma umum. Tetapi jauh lebih strategis juga adalah
pentingnya pendidikan seks itu sendiri. Supaya remaja punya pemahaman akan
risiko tindakan yang dilakukan dan membawa remaja menjadi remaja bertanggung
jawab dan ini tugas kita bersama.
Dari kondisi, dinamika maupun fenomena seksualitas dikalangan para remaja
dan mahasiswa diatas, penulis kembalikan sepenuhnya pada kesadaran diri, orang
tua, lingukungan pergaulan serta media yang ada. Segala sesuatunya berdampak
positif jika diarahkan pada hal-hal yang postif dan akan negatif bila
dimanfaatkan secara negatif. Diri kita sendirilah yang akan memilah untuk keberlanjutan
kehidupan kita dimasa yang akan datang.
Mahasiswa masa kini seharusnya telah
mengetahui dan memilih lingkungan baik bagi dirinya dan mempunyai prinsip yang
jelas dalam dirinya agar tidak terjerumus pada hal-hal negatif, yang salah
satunya adalah seks bebas. Perlu disadari bahwa menghargai dan bertanggung
jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan demi masa depan yang cerah. Mahasiswa perlu menumbuhkan kesadaran akan
perlunya suatu sikap menghargai dan tanggung jawab terhadap dirinya dan
lingkungan melalui informasi tentang hakikat seksualitas pada diri mereka dan
pada diri manusia pada umumnya secara benar.