Oleh: Muhammad Fikrillah
Beberapa hari terakhir, kita disuguhi beragam tragedi kemanusiaan. Kanvas langit Dana Mbojo pun menghitam. Mayat tidak dikenal, Mr X, ditemukan mengapung di perairan laut Kecamatan Wera, disusul tragedi penembakan satu nelayan hingga tewas oleh petugas Taman Nasional Komodo (TNK). Terakhir, ini yang memilukan, satu warga yang diduga mencuri ternak, Mukri, dibakar hidup-hidup di kawasan pantai Papa Kecamatan Lambu, Rabu (28/3/2012) lalu. Satu rekannya, Burhan, dipermak habis hingga akhirnya nyawanya terenggut beberapa jam kemudian.
Ya, kita pantas prihatin. Kasus Mukri perlu diberi penekanan khusus, apalagi gambarnya sudah di-upload di media jejaring sosial. Menggenaskan, hitam-legam. Membuat bulu kuduk setiap orang yang melihatnya merinding. Tubuh warga Desa Lanta Kecamatan Lambu Kabupaten Bima itu mirip ubi kayu yang dibakar. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana ekspresi para pembakar saat mengeksekusi korban. Pasti ada kepuasan tersendiri, memenuhi libido nafsu yang menemukan momentum untuk diekspresikan.
Memang mereka telah mengambil langkah keliru–sesuatu yang sangat manusiawi. Kesalahan atau kedhaifan melekat kuat pada siapapun, itulah makna dari kata ‘insan’ itu. Siapapun kita masih memiliki sisi kelam selama lintasan durasi waktu bergulir. Tetapi, mengeksekusi secara ceroboh tanpa proses adalah kefatalan sikap.
Bakal selalu ada titik balik kesadaran seseorang yang bisa diharapkan. Khalifah Umar bin Khattab, jika merujuk tharik Islam, sebelumnya adalah sosok paripurna dalam skala sikap kejahiliyahannya. Dari musuh utama Islam, lalu menjadi terdepan membela. Ya, dia adalah hero. Bahkan, mereka yang menyatakan Rasulullah telah wafat pun, Umar mengirim pesan tegas bakal menebas lehernya.
Eksekusi atas nama massa, seperti yang secara “sempurna” diperagakan di wilayah Lambu itu selayaknya ditelusuri, karena menjadi preseden buruk. Dalam kasus atau tudingan yang masih sumir pun, tidak tertutup kemungkinan massa membahasakan kemarahannya dengan cara yang sama. Bahkan, lebih dari itu.
Memang kasus bertema pembakaran manusia berulangkali terjadi di Dana Mbojo. Kasus pertama di lingkungan Salama Kota Bima, seorang pencuri dibakar hidup-hidup setelah dihajar massa yang menangkapnya. Setelah itu, di Tambe Kecamatan Bolo Kabupaten Bima. Tetapi, mesti segera dihentikan karena mencabik nilai kemanusiaan.
Sebagai upaya reflektif, kasus kelam itu setidaknya dapat dicermati pada dua sisi. Pertama, jelas menunjukkan semacam patologi sosial, akar permasalahannya ditengarai karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur hukum. Tindakan “main hakim sendiri”, apalagi sampai membakarnya adalah peristiwa patologi sosial.
Akarnya adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur Negara, Polisi, Jaksa, dan Hakim. Aspek keteladanan telah luntur pada struktur formal negara termasuk informal. Eksekusi ala Papa itu dipandang sebagian warga tuntas menyelesaikan masalah. Padahal, efeknya luar biasa. Mendegradasi karakter dan nilai-nilai kearifan Dou Mbojo. Kedua, anarkisme yang diumbar sadis ke ranah publik tidak boleh dibiarkan karena merusak tertib sosial.
Jangan sampai atas nama massa, ada kelompok yang merasa leluasa berbuat tanpa balutan norma dan peraturan. Jika dirangkai dengan kasus gonjang-ganjing tambang emas, berikut level kerusakan fasilitas yang diciptakannya, maka ada sesuatu yang harus dibenahi dalam sisi mentalitas masyarakat setempat. Sekali lagi, kita pantas prihatin. Keprihatinan yang mesti dimunculkan dari lubuk hati terdalam.
LINK: http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/31/aroma-sadisme-menggoyang-bima/