Oleh : ARIFUDDIN HAMID*
Sering terdengar dalam ungkapan khalayak, Naik Haji dan anak Bergelar Sarjana adalah puncak kebahagiaan hidup orang Bima. Idiom kultural ini diwariskan dari generasi ke generasi. Sehingga banyak kaum mudanya menempuh pendidikan tinggi, tersebar hampir di seluruh penjuru negeri. Bahkan begitu cintanya pada dunia nalar-menalar, jurusan pendidikan dan ajar-mengajar menjadi favorit bagi sebagian besar generasinya. Tidak heran kemudian masyarakat Bima dikenal sebagai ‘penyuplai’ tenaga pengajar. Di Jakarta misalnya, predikat tersebut tak terbantah.Keyakinan budaya akan pentingnya pendidikan menjadi ‘mantra hidup’ akan asa gemilang. Walau tantangan hidup menerjang keras, penting anaknya sarjana. Dalam ranah faktual, hal tersebut benar-benar terjadi. Tidak aneh ketika banyak pemuda nya merantau mencari sejumput pengetahuan. Tidak saja yang berprofesi Pegawai Negeri, profesional, ataupun pengusaha yang relatif memiliki tingkat kehidupan menengah, segmen-segmen masyarakat lainnya turut mengamalkan euforia budaya. Bahwa pendidikan adalah jalur keluar dari kepahitan hidup menjadi sebentuk kebenaran kolektif (common opinion).
Dilihat dari faktor sosio-historis, semangat menuntut ilmu ini berangkat dari spirit religi yang mengagungkan kecendekiaan. Asimilasi budaya asli dengan nilai-nilai Islam berlangsung demikian lama dan cukup berhasil. Bahkan anasir-anasir non islam sulit ditemukan lagi jejak kulturalnya. Kecuali di beberapa wilayah “terasing” produk olahan zaman lalu. Terlebih didukung corak geografis yang berbentuk kepulauan dan fakta demografis sebagian besar penduduknya tinggal di daerah pesisir, menjadikan masyarakat Bima begitu mobile mengunjungi pusat-pusat peradaban ilmu nusantara.
Dalam kerangka dogmatik, semangat berilmu ditekankan sampai ke negeri jauh. Dimana peradaban berkembang, disitulah saripati pengetahuan bermuara. Orang berilmu adalah jenis manusia istimewa. Knowledge is power, dengan wawasannya dapat menjadi obor pencerah, penerang gulita zaman. Dan sejarah memang telah bersabda, bangsa yang berilmu akan memimpin gerbong peradaban.
Sebagai nilai budaya sekaligus keyakinan religi, segala hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan akan sangat dihargai, baik yang substantif (teori, konsep, keterampilan), maupun yang formil (gelar dan tanda akademik). Dan masyarakat Bima sadar betul dengan ajaran tesebut, yang sekarang barangkali sudah mulai luntur, entah.
Idealitas yang Tergerus
Sontak dunia pendidikan Bima tersentak, praktek jual beli karya akademik berlangsung demikian sistematik dan canggih. Bagi penulis, kekagetan wajar diungkap. Selain karena praktek tersebut merobek citra budaya, juga menyirat segudang kecurigaan. Apakah yang selama ini dibangun adalah perspektif ilusif, atau preseden kerapuhan sendi-sendi kejujuran di tengah himpitan modernitas.
Mengapa bentuk pelacuran intelektual ini menjadi teramat penting diurai, setidaknya dapat ditilik dari dua sudut pijak. Pertama, praksisme kultur dan eksistensi kemanusiaan. Sebagai sebuah sistem nilai, gelar sarjana adalah keniscayaan. Keterlembagaan nilai diartikan secara ekstrim sebagai tuntutan hidup. Tidak saja berbentuk penghargaan akan tradisi, namun juga menyurat eksistensi sosial. Yang bergelar sarjana dipandang sebagai yang berwawasan, tiket masa depan untuk kegemilangan hidup. Apalagi di Bima yang masyarakatnya mendewakan profesi pangreh praja. Suatu tatanan yang sebenarnya tidak salah, namun menjadi keliru ketika dipaksakan sebagai keharusan hidup.
Dan kedua, etika akademik dan pasar kerja. Gelar, sertifikat, dan tanda lainnya memang keniscayaan modernisme. Pengakuan keilmuan seseorang ditandai tidak saja cukup dengan seberapa jauh capaian pengetahuannya, namun juga bukti dokumen apa yang dipunyai. Pasar kerja memang telah mengkuantifisir kecerdasan seseorang dengan beberapa lembar kertas. Ijazah bukan segalanya, tapi tanpa ijazah segalanya sulit, tidak mungkin malah. Sebagai kunci masuk, persyaratan tersebut wajib dipenuhi.
Lantas dimana tempat etos? Penulis melihat tabrakan antara kultur (baca: konsep), praktis pengamalan, dengan variabel di sekelilingnya. Bukan seperti das sollen (yang diimaji) bertubrukan dengan das sein (yang terjadi), namun terjadi keterpisahan praksis antara konsep dengan praktek. Keinginan mempertahankan kultur dimaknai instan, utama untuk mendapat pengakuan legal. Pemahaman ini kemudian berujung pada tindakan menghalalkan segala cara, laik kasus yang sekarang terjadi. Etik dalam spirit, buruk dalam sikap. Dan etos masih tetap bersemayam di balik tempurung. Penulis tidak sedang berkhotbah tentang keajegan konseptual, tidak pula bergenit wacana. Sebab etos dan pengetahuan sejatinya bebas kepentingan (ideal).
Lalu Apa?
Tidak perlu meminjam Poerwadarminta untuk menjelaskan definisi sarjana. Sebagai istilah publik, maknanya tentu sudah menjadi milik umum. Secara teoritik, kaum perengkuh gelar ini adalah manusia kritis, berpikir dewasa, mampu bertindak mandiri dengan bekal studinya. Adalah calon pemimpin, pemasok ide kemajuan. Maka ketika proyek akademik ditindas demikian rupa, persis hilanglah sekian predikat luhur tersebut.
Skripsi adalah manifestasi kemandirian dan finalisasi awalan karir intelektual dunia kampus. Urgensinya pun tidak main-main. Skripsi adalah sebentuk sumbangan kemanusiaan, medium olah gagas untuk solusi kehidupan. Sehingga tidak berlebihan seorang sarjana dikatakan sebagai pemimpin generasi depan (iron stock).
Dalam konteks demikian, kasus jual-beli skripsi di Bima harus menjadi bahan renungan bersama. Tidak saja pemerintah, masyarakat dan civil society jua perlu terlibat di dalamnya. Penulis menyajikan dua kerangka pikir menyikapi persoalan ini, pertama, perlunya pendekatan struktural kebijakan (local policy approach). Sebagai pengemban mandat, pemerintah harus yang terdepan dalam mempertahankan citra budaya. Sepanjang yang penulis tahu, sebagian dosen di sejumlah perguruan tinggi Bima adalah pegawai negeri di lingkungan pemerintahan daerah, Kabupaten dan Kota Bima. Artinya pemerintah punya kewenangan menindak aparat terkait apabila terlibat. Bahkan dengan subjek pelanggar yang berada diluar jurisdiksi kewenangan, pemerintah masih tetap bisa berangkat dari konsep kesusilaan dan etika pegawai. Selain itu, terpenting bagaimana mengkonstruksi sasaran jangka panjang, sistem pendidikan yang berakar transenden-kultural, bervisi global-modernis. Yang mengawinkan tabu budaya dengan hasrat dunia kini. Jual-beli skripsi, selain mencabik keluhuran kultural, juga menista kreativitas modern.
Kedua, kontrol internal kolektif. Seringkali jual-beli skripsi adalah strategi pintas merengkuh lorong gelap dunia kerja. Mungkin salah penulis berprasangka, kompleksitas penerimaan pegawai di Bima melibatkan setiap segmen. Bukan dalam pengertiannya sebagai aktor, namun membaur dalam kerunyaman realitas.
Sadar penulis, seakan utopia melaksanakan kerangka pikir demikian. Namun persoalannya kita akan dihadapkan pada dua pilihan, kenikmatan instan atau kutukan kolektif yang berakhir entah? Rumput tentu saja hanya bisa bergoyang.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kelahiran Bima. UI, Depok, 26 November 2011

