http://babujuwebsite.googlecode.com/files/js.txt 'Memburu' Madu & Sinyal Ponsel | Portal Berita Komunitas Babuju
HEADLINE :
Home » » 'Memburu' Madu & Sinyal Ponsel

'Memburu' Madu & Sinyal Ponsel

Ditulis Pada Hari Sabtu, 29 Oktober 2011 | Oleh: Babuju.com



 

 

 

 

Oleh : M. Dahlan Abubakar

 

 

 

 

 

Bima, Pulau Sumbawa sebagai daerah yang menghasilkan madu asli, sudah lama diketahui oleh orang banyak. Saking terkenalnya, berapa pun harganya madu asal daerah itu pasti dibeli orang. Soalnya, pasi asli. Pada tahun 2011 ini produksi madu di daerah itu dalam kondisi kritis. Minim. Sampai-sampai untuk memperolehnya sangat sulit. Kalau pun ada, harganya selangit.

Harga di pasaran melambung tinggi. Di Kanca, desa yang dikenal sebagai sumber produksi madu alam, saya membelinya per botol Rp 65.000. Harga terendah Rp 60.000 ketika pulang kampung 7-9 Oktober 2011 yang lalu. Beberapa bulan sebelum saya ke Bima, adik saya yang diminta mencari madu kesulitan memperolehnya. Harga ini naik 100% dari biasanya yang berkisar Rp 25.000 - Rp 30.000 per botol.

Berkurangnya produksi air madu di Bima tersebut, boleh jadi pertama kali selama ini. Tidak biasanya produksi air madu se-krisis seperti ini. Tidak jelas apa penyebab hingga produksi menurun drastis. Rombongan madu yang melintasi desa karena sedang migrasi – seperti dulu – tidak lagi ditemukan.

Pada tahun 70-an, di Desa Kanca, kerap ditemukan lebah bergantung di ranting pohon di tengah itupun ada hanya untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke hutan. Warga yang khawatir tentang lebah yang tiba-tiba nongol itu menyengat putra-putri mereka, mengusirnya. Caranya, mudah. Cukup membakar sesuatu dengan menumpukinya dengan dedaunan warna hijau. Maksudnya, agar asapnya tebal. Rupanya. Lebah-lebah itu tidak tahan dengan asap api.

Begitu pula halnya dengan jika warga hendak berburu madu di hutan belantara, sekitar 6-7 km dari desa. Mereka hanya bawa korek api dan begitu menemukan sarang lebah madu, langsung membuat api. Kalau tidak ada korek api, mereka membuat api dari kayu yang digosok-gosok beberapa lama hingga lidah apinya keluar. Inilah cara tradisional nenek moyang kita menghasilkan api. Cara lain, dua batu diadu atau dipukulkan. Di dekatnya ada semacam irisan-irisan halus kayu, seperti kapas, yang mudah terbakar untuk menadah.

Saya pernah sekali mengikuti kegiatan mencari madu ini. Waktu itu saya masih kecil. Usia sekitar 7-10 tahunan. Kala itu, kami juga harus siap-siap menyelamatkan diri kalau lebahnya ‘ngamuk’. Kalau terjadi situasi gawat, tak heran lebah menyerang. Para pemburu lebah, biasanya mencari sungai atau membungkus dirinya dengan sarung. Soalnya, kalau digigit lebah, badan bisa benjol-benjol. Apalagi, kalau yang digigit itu bagian muka. Langsung mukanya gemuk dua kali lipat. Tetapi tidak lama. Para pemburu madu juga sudah tahu penawar bisa lebah itu. Dalam dua tiga hari muka gemuknya akan normal lagi.

Jika pengambil madu memanjat pohon untuk mengambil sarang madu, dia membawa kayu yang sudah dibakar dan ditutupi daun hijau agar asapnya menebal. Begitu asap didekatkan ke sarangnya, lebah-lebah itu menyingkir. Yang kelihatannya adalah sarang madunya. Begitulah cara pemburu mengambil sarang lebah madu di Bima khususnya.

Sarang terdiri atas dua bagian. Satu bagian terdiri atas kumpulan kepompong ‘bayi madu’ yang belum memiliki bulu. Biasanya diambil dan dimakan mentah. Penduduk desa juga biasanya membakarnya dengan menggunakan pelepah buah pinang. Rasanya enak sekali jika dimakan dengan garam dan jeruk nipis. Uuu… ueeeenak…

Bagian kedua adalah lilin yang berisi air madu. Di bagian inilah sumber air madu. Untuk memperoleh air madu, warga harus memerasnya. Sisa ampas yang diperas menghasilkan lilin. Tentu saja, lilin bisa dipakai untuk macam-macam kebutuhan. Selain untuk menerangi kegelapan malam, juga biasa dipakai menutup bagian kaleng yang bocor.

Penyebab Ponsel

Kini, produksi madu di Bima mengalami krisis. Tak jelas apa penyebabnya. Boleh jadi, mungkin karena musim kemarau yang membuat bunga-bunga pepohonan yang menjadi sumber makanan lebah belum mekar lagi. Musim kemarau juga memperlambat tumbuhnya rerumputan yang bunga-bunganya paling disenangi lebah madu. Ada rumput halus dengan bunga-bunga kecilnya yang warna merah, paling disenangi lebah madu. Nektar yang diisap lebah madu dari jenis rumput ini menghasilkan madu berkualitas tinggi.

Soal menurunnya produksi madu di Bima, saya teringat satu berita yang pernah saya baca di media online beberapa waktu lalu. Sekitar bulan Mei 2011. Berita itu saya titip di file saya di laptop. Media maya inilah.com, dalam salah satu beritanya yang saya unggah menyebutkan, hasil studi terbaru dari Inggris menunjukkan, sinyal ponsel berpotensi menyebabkan kematian lebah madu. Bagaimana bisa?

Pemimpin tim Dr Daniel Favre yakin, sinyal ponsel menjadi salah satu faktor penyebab berkurangnya populasi lebah dunia dalam kurun 25 tahun terakhir. Populasi lebah madu di Inggris, kini berkurang setengahnya.

Sementara itu, di Amerika Serikat (AS), koloni lebah tiba-tiba menghilang di musim dingin. Untuk itu, tim melakukan uji dengan meletakkan ponsel di bawah sarang lebah. Setelah itu, tim peneliti secara seksama memperhatikan reaksi lebah.

Tim menemukan, lebah bisa mengetahui saat ponsel menerima ataupun melakukan panggilan. Sekitar 20-40 menit setelah ponsel diaktifkan, lebah-lebah ini mengeluarkan lengkingan suara tinggi dan menjadi gelisah.

Setelah dua menit panggilan telepon berakhir, gerak lebah kembali tenang. Meski penelitian ini tak langsung membuktikan sinyal ponsel bisa membunuh lebah, Favre berkeras gelombang elektromagnetik sinyal ‘berkontribusi’ dalam berkurangnya populasi lebah dunia.

“Hasil studi menunjukkan, ponsel aktif membuat lebah terganggu dan memberi efek dramatis,” ujarnya.

Namun, seperti dikutip Daily Mail, para ahli lebah lain tak langsung menyetujui analisa Favre. “Hasil studi ini menarik namun belum membuktikan ponsel bertanggung jawab atas hilangnya koloni lebah,” ungkap ahli lebah Norman Carreck.

Bagaimana dengan di Bima? Boleh jadi hasil penelitian Daniel Favre juga berdampak terhadap populasi lebah madu di Bima. Pasalnya, sinyal ponsel sudah merambah ke mana-mana. Di Kanca memang sinyal sama sekali belum dapat ditangkap oleh telepon selular. Namun di desa tetangga, seperti Parado Rato dan Kuta, sinyal telepon selular sudah biasa. Sinyal-sinyal tersebut melintasi daerah, tempat lebah-lebah itu berkembang biak.

Di sebelah utara tepatnya di Dam Meku, sekitar 7 km dari Desa Kanca, misalnya, konon sinyal selular dari Simpasai dapat ditangkap. Jika sinyal tersebut benar dapat ditangkap, maka sudah melintasi hutan-hutan yang menjadi habitat perkembangbiakan lebah madu.

Saking kurangnya produksi lebah madu ini, adik saya Ahmad Muslim, terpaksa menghadang seorang warga yang kebetulan baru saja memanen madu di hutan belantara, sekitar 9 km di sebelah utara Desa Kanca, ketika sedang ‘memburu ‘duna’ (ikan moa) di salah satu batang sungai di tengah hutan belantara yang berbatasan dengan Kecamatan Kabupaten Bima dan Desa Woko, Kabupaten Dompu. Madu tersebut juga dibeli dengan harga yang hampir sama dengan yang saya beli.

Di tengah ‘memburu madu’ di kampung halaman, ternyata ketika saya meluncur ke Bandara Muhammad Salahuddin, masuk telepon dari Rangga. Dia mengabarkan, bahwa dia dalam beberapa menit akan terbang ke Bima, dari Bandara Internasional Lombok (BIL).

“Anggota Ananda sudah siapkan madu putih untuk ayahanda, sebagai oleh-oleh yang langka untuk saat ini’’ imbuh Rangga yang nama aslinya Julhaidin tersebut.

Di Bandara Bima, saya nyaris tidak bertemu dengan Rangga. Pasalnya, saya lebih lama duduk di luar. Saat boarding ternyata Rangga sudah menunggu dan langsung membawakan sebotol madu putih. Rupanya, saya merupakan penumpang terakhir yang boarding pada pesawat Trans Nusa yang terbang dari Bima ke BIL, 9 Oktober 2011. Sampai-sampai saya tidak sempat berbincang-bincang dengan ‘bigbos’ Komunitas BABUJU itu. Terima kasih Rangga. Seumur-umur, Ini pertama kali menikmati madu putih yang harganya selangit itu…….

*Dahlan Abubakar adalah Kepala Humas Unhas, Menulis berbagai Buku, terakhir menulis Buku “Ramang Sang Macan Bola” dan buku yang paling dibanggakan oleh dunia Journalistik Sulawesi Selatan adalah “Menembus Blokade Kelelawar Hitam; Kisah 99 Wartawan Sulawesi Selatan”. Dahlan Abubakar adalah Dewan Pembina Kehormatan Komunitas BABUJU.
Bagikan Berita Ini :
 
Copyright © 2011. Portal Berita Komunitas Babuju . All Rights Reserved.
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Design by Creating Website.