[caption id="attachment_1374" align="alignleft" width="180" caption="ITK NTB Korda Bima, Al Imran"]
[/caption]
BABUJU Report,- Institut Transparansi Kebijakan (ITK) Rayon Bima-NTB menyorot pengelolaan dana pengentasan ‘buta aksara’ melalui program Keaksaraan Fungsional (KF) yang disinyalir dilakukan oleh Pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Kabupaten Bima. Melalui release persnya yang disampaikan pada media ini pada 25 September lalu, Kordinator ITK Rayon Bima-NTB, Al-Imran, mempertanyakan adanya indikasi buruknya pengelolaan dana KF di Kabupaten Bima ini akibat dari buruknya sistim pengawasan yang dibangun oleh pihak Dinas Dikpora Kabupaten Bima sendiri. “Program Keaksaraan Fungsional (KF) yang dikelola oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kabupaten Bima yang dimulai tanggal 19 September 2011 sejauh ini belum jalan semua.
Hal ini terjadi akibat lemahnya pengawasan dari pihak Dikpora Kabupaten Bima. Maka kami menilai berdasarkan hasil investigasi di lapangan, hal ini akan banyak menimbulkan dugaan tindak pidana korupsi yang diduga terjadi secara terstruktur dan sistimatis,” ungkap Al-Imran.
Berdasarkan data yang diperolehnya, di Kabupaten Bima, satu PKBM bisa mengelola lima (5) sampai 30 kelompok belajar. Satu (1) kelompok belajar dianggarkan Rp 5 juta. Sampai saat ini, menurut ITK, disinyalir masih banyak kelompok belajar yang belum dijalankan oleh PKBM. “Kalau memang kelompok belajar ini tidak dijalankan, maka akan timbul dugaan tindak pidana korupsi. Bila hal ini terjadi, kami dari Institut Transparansi Kebijakan (ITK) Rayon Bima-NTB akan melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib,” tegas pria yang dikenal getol melaporkan dugaan korupsi di lembaga hukum ini.
Di Kabupaten Bima, bebernya lagi, terdapat kurang lebih seratus (100) PKBM dan dua (2) LSM yang diduga mendapatkan anggaran program KF serta terdapat 1.500 kelompok belajar dengan total anggaran Rp 6,7 Milyar lebih. Biaya pengeluaran untuk satu (1) Kelompok PKBM, rincinya, antara lain adalah biaya ATK, biaya modul dikenakan Rp7.000 per orang yang diadakan oleh Forum PKBM untuk Wajib Belajar, biaya tematik sebesar Rp10.000 per orang diadakan melalui pihak Dinas Dikpora Kabupaten Bima untuk Wajib Belajar, biaya sukma sebesar Rp 5.000 per orang diadakan melalui dinas Dikpora Kabupaten Bima untuk wajib belajar, Honor Tutor sebesar Rp 500 ribu per orang dikali dua (2) Tutor per kelompok, Honor Tim Monev dari satu (1) kelompok yakni Monev Desa sebesar Rp 40 ribu per orang, Monev Kecamatan sebesar Rp 45 ribu per orang, Monev Kabupaten sebesar Rp 50 ribu per orang, dan Monev Provinsi sebesar Rp 65 ribu per orang, dan untuk wajib belajar sebesar Rp 3.000 per orang dikali 32 hari dikali 20 orang per kelompok yakni sebesar Rp 96.000 per orang. Setelah dihitung, hanya memakan biaya Rp 3,5 juta. Sehingga Ketua Pengelola PKBM masih bisa mendapatkan keuntungan dari pengelolaan tersebut yakni sebesar Rp1,5 juta per kelompok.
Kalau satu (1) PKBM mengelola 10 kelompok akan bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp 15 juta. “Maka ketika PKBM tidak menjalankan kelompok belajar yang mereka dapat anggarannya sungguh terlalu serakah untuk meraup uang Negara. Ruang ini terjadi akibat lemahnya sistem pengawasan dari pihak Dinas Dikpora Kabupaten Bima yang punya Tupoksi terkait hal itu”, cetusnya.
Apalagi disinyalirnya, Ketua Pengelola PKBM mayoritas dikelola oleh PNS dibawah naungan Dikpora Kabupaten Bima. “Dan hingga hari ini, tingkat kehadiran warga belajar di setiap PKBM rata-rata hanya mencapai 50 persen sampai 60 persen dengan sendirinya dana untuk wajib belajar per hari yakni sebesar Rp 3.000 dikali 32 hari ditengarai tidak terealisasi semua. Dan sebagian PKBM disinyalir hanya menggunakan satu (1) orang Tutor saja,” bebernya.
Kepala Dikpora Kabupaten Bima, Drs. Zubaer HAR, M. Si, yang dikonfirmasi wartawan tidak menampik adanya sorotan dari ITK NTB Korda Bima tersebut. Kepada Garda Asakota, Zubaer justru sangat welcome bila ada LSM yang peduli terkait dengan optimalisasi pengelolaan dana KF di Kabupaten Bima, apalagi pengelolaan dana tersebut baru saja diluncurkan 19 September lalu. “Saya justru menilai upaya yang dilakukan ITK tersebut sangat baik demi optimalisasi sasaran dana KF,” ungkapnya pada wartawan. Kadis Dikpora yang saat itu turut didampingi oleh Kabid PNFPO (Pendidikan non Formal Pemuda dan Olah-raga), Drs. Handal Wirawan dan Kasi Pendidikan Luar Sekolah (PLS), H. Jaharuddin, menyerahkan sepenuhnya pengelolaan dana tersebut kepada bidang teknis dan PKBM. “Dana itu-kan tidak singgah di dinas, tapi langsung dikelola oleh PKBM,” tandasnya singkat.
Sementara itu, Kadis Dikpora NTB melalui Kabid PNFI, H. Wahibullah, S. Ip, yang ditemui wartawan terkait dengan pelaksanaan program KF ini mengungkapkan sangat merespon adanya partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan KF di NTB. Wahibullah juga menegaskan akan memberikan sanksi tegas kepada pengelola PKBM yang diduga tidak melaksanakan program KF ini secara baik. Haya saja, menurutnya, pemberian sanksi itu merupakan otoritas yang dimiliki oleh Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Pendidikan Masyarakat di Kemendiknas Pusat setelah pihak Dikpora NTB menyampaikan laporan ke Dirjen Dikmas ini.
“Kita disini tidak berhak memberikan sanksi apapun dalam hal ini karena yang mempunyai dana itu adalah Pemerintah Pusat. Jadi kita hanya memberikan laporan kepada Pusat,” terang Wahibullah kepada wartawan saat menerima wartawan diruang kerjanya Dikpora NTB, Kamis (29/9).
Pengenaan sanksinya, menurut Wahibullah, bisa berupa lembaga itu tidak akan diberikan bantuan lagi dan atau jika tidak melaksanakan kegiatan, bisa diminta pengembalian dana ke kas Negara dengan diberikan interval waktu atau limit waktu untuk mengembalikannya ke Kas Negara. “Bahkan akan kita proses sesuai dengan jalur-jalur yang sesuai dengan ketentuan yang ada,” tegasnya.
Masyarakat juga bisa-bisa saja melaporkan hal ini ke lembaga hukum, karena hal itu menurutnya merupakan bagian dari hak setiap warga Negara. Hanya saja, menurutnya, laporan itu harus disertai dengan lampiran bukti-bukti otentik yang tidak hanya sekedar merupakan sebuah sinyalemen yang dipaparkan secara global. “Jangan melaporkan sesuatu yang masih bersifat global atau yang masih bersifat ‘katanya’. Jadi kalau dilaporkan ke pihak yang berwajib harus disertai dengan bukti. Yang melapor itu siapa, yang dilapor itu siapa, dan harus bertanggung jawab, nanti kita akan panggil untuk dilakukan konfirmasi,” cetus Wahibullah.
Secara keseluruhan, menurutnya, anggaran PKBM ini berasal dari dana APBD I dan dari dana APBN. Dana KF yang berasal dari dana APBN menurutnya berjumlah sekitar Rp 25 Milyar se-NTB yang dialokasikan per Kabupaten dan Kota yang masih rendah tingkat Keaksaraannya. “Untuk Loteng dialokasikan sebesar Rp 7,1 M, Untuk Lotim dialokasikan sebesar Rp 6,5 Milyar, untuk Kabupaten Bima sebesar Rp 6,7 Milyar, dan Kabupaten Lombok Utara sebesar Rp 2,3 Milyar. “Sementara untuk KF dari dana APBD I yakni untuk Lombok Barat dialokasikan sebesar Rp 7,8 Milyar dan untuk Kabupaten Sumbawa Rp 3,9 Milyar,” terangnya.
Sementara, kriteria PKBM yang mendapatkan bantuan dana ini yakni lembaga PKBM wajib memenuhi persyaratan yang harus dimiliki adalah Nomor Induk Lembaga yang dikeluarkan oleh Dirjen Diknas. “Disamping itu harus ada rekomendasi dari Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi,” tandasnya. (Garda Asakota ‘GA’. 212/211*)

BABUJU Report,- Institut Transparansi Kebijakan (ITK) Rayon Bima-NTB menyorot pengelolaan dana pengentasan ‘buta aksara’ melalui program Keaksaraan Fungsional (KF) yang disinyalir dilakukan oleh Pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Kabupaten Bima. Melalui release persnya yang disampaikan pada media ini pada 25 September lalu, Kordinator ITK Rayon Bima-NTB, Al-Imran, mempertanyakan adanya indikasi buruknya pengelolaan dana KF di Kabupaten Bima ini akibat dari buruknya sistim pengawasan yang dibangun oleh pihak Dinas Dikpora Kabupaten Bima sendiri. “Program Keaksaraan Fungsional (KF) yang dikelola oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kabupaten Bima yang dimulai tanggal 19 September 2011 sejauh ini belum jalan semua.
Hal ini terjadi akibat lemahnya pengawasan dari pihak Dikpora Kabupaten Bima. Maka kami menilai berdasarkan hasil investigasi di lapangan, hal ini akan banyak menimbulkan dugaan tindak pidana korupsi yang diduga terjadi secara terstruktur dan sistimatis,” ungkap Al-Imran.
Berdasarkan data yang diperolehnya, di Kabupaten Bima, satu PKBM bisa mengelola lima (5) sampai 30 kelompok belajar. Satu (1) kelompok belajar dianggarkan Rp 5 juta. Sampai saat ini, menurut ITK, disinyalir masih banyak kelompok belajar yang belum dijalankan oleh PKBM. “Kalau memang kelompok belajar ini tidak dijalankan, maka akan timbul dugaan tindak pidana korupsi. Bila hal ini terjadi, kami dari Institut Transparansi Kebijakan (ITK) Rayon Bima-NTB akan melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib,” tegas pria yang dikenal getol melaporkan dugaan korupsi di lembaga hukum ini.
Di Kabupaten Bima, bebernya lagi, terdapat kurang lebih seratus (100) PKBM dan dua (2) LSM yang diduga mendapatkan anggaran program KF serta terdapat 1.500 kelompok belajar dengan total anggaran Rp 6,7 Milyar lebih. Biaya pengeluaran untuk satu (1) Kelompok PKBM, rincinya, antara lain adalah biaya ATK, biaya modul dikenakan Rp7.000 per orang yang diadakan oleh Forum PKBM untuk Wajib Belajar, biaya tematik sebesar Rp10.000 per orang diadakan melalui pihak Dinas Dikpora Kabupaten Bima untuk Wajib Belajar, biaya sukma sebesar Rp 5.000 per orang diadakan melalui dinas Dikpora Kabupaten Bima untuk wajib belajar, Honor Tutor sebesar Rp 500 ribu per orang dikali dua (2) Tutor per kelompok, Honor Tim Monev dari satu (1) kelompok yakni Monev Desa sebesar Rp 40 ribu per orang, Monev Kecamatan sebesar Rp 45 ribu per orang, Monev Kabupaten sebesar Rp 50 ribu per orang, dan Monev Provinsi sebesar Rp 65 ribu per orang, dan untuk wajib belajar sebesar Rp 3.000 per orang dikali 32 hari dikali 20 orang per kelompok yakni sebesar Rp 96.000 per orang. Setelah dihitung, hanya memakan biaya Rp 3,5 juta. Sehingga Ketua Pengelola PKBM masih bisa mendapatkan keuntungan dari pengelolaan tersebut yakni sebesar Rp1,5 juta per kelompok.
Kalau satu (1) PKBM mengelola 10 kelompok akan bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp 15 juta. “Maka ketika PKBM tidak menjalankan kelompok belajar yang mereka dapat anggarannya sungguh terlalu serakah untuk meraup uang Negara. Ruang ini terjadi akibat lemahnya sistem pengawasan dari pihak Dinas Dikpora Kabupaten Bima yang punya Tupoksi terkait hal itu”, cetusnya.
Apalagi disinyalirnya, Ketua Pengelola PKBM mayoritas dikelola oleh PNS dibawah naungan Dikpora Kabupaten Bima. “Dan hingga hari ini, tingkat kehadiran warga belajar di setiap PKBM rata-rata hanya mencapai 50 persen sampai 60 persen dengan sendirinya dana untuk wajib belajar per hari yakni sebesar Rp 3.000 dikali 32 hari ditengarai tidak terealisasi semua. Dan sebagian PKBM disinyalir hanya menggunakan satu (1) orang Tutor saja,” bebernya.
Kepala Dikpora Kabupaten Bima, Drs. Zubaer HAR, M. Si, yang dikonfirmasi wartawan tidak menampik adanya sorotan dari ITK NTB Korda Bima tersebut. Kepada Garda Asakota, Zubaer justru sangat welcome bila ada LSM yang peduli terkait dengan optimalisasi pengelolaan dana KF di Kabupaten Bima, apalagi pengelolaan dana tersebut baru saja diluncurkan 19 September lalu. “Saya justru menilai upaya yang dilakukan ITK tersebut sangat baik demi optimalisasi sasaran dana KF,” ungkapnya pada wartawan. Kadis Dikpora yang saat itu turut didampingi oleh Kabid PNFPO (Pendidikan non Formal Pemuda dan Olah-raga), Drs. Handal Wirawan dan Kasi Pendidikan Luar Sekolah (PLS), H. Jaharuddin, menyerahkan sepenuhnya pengelolaan dana tersebut kepada bidang teknis dan PKBM. “Dana itu-kan tidak singgah di dinas, tapi langsung dikelola oleh PKBM,” tandasnya singkat.
Sementara itu, Kadis Dikpora NTB melalui Kabid PNFI, H. Wahibullah, S. Ip, yang ditemui wartawan terkait dengan pelaksanaan program KF ini mengungkapkan sangat merespon adanya partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan KF di NTB. Wahibullah juga menegaskan akan memberikan sanksi tegas kepada pengelola PKBM yang diduga tidak melaksanakan program KF ini secara baik. Haya saja, menurutnya, pemberian sanksi itu merupakan otoritas yang dimiliki oleh Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Pendidikan Masyarakat di Kemendiknas Pusat setelah pihak Dikpora NTB menyampaikan laporan ke Dirjen Dikmas ini.
“Kita disini tidak berhak memberikan sanksi apapun dalam hal ini karena yang mempunyai dana itu adalah Pemerintah Pusat. Jadi kita hanya memberikan laporan kepada Pusat,” terang Wahibullah kepada wartawan saat menerima wartawan diruang kerjanya Dikpora NTB, Kamis (29/9).
Pengenaan sanksinya, menurut Wahibullah, bisa berupa lembaga itu tidak akan diberikan bantuan lagi dan atau jika tidak melaksanakan kegiatan, bisa diminta pengembalian dana ke kas Negara dengan diberikan interval waktu atau limit waktu untuk mengembalikannya ke Kas Negara. “Bahkan akan kita proses sesuai dengan jalur-jalur yang sesuai dengan ketentuan yang ada,” tegasnya.
Masyarakat juga bisa-bisa saja melaporkan hal ini ke lembaga hukum, karena hal itu menurutnya merupakan bagian dari hak setiap warga Negara. Hanya saja, menurutnya, laporan itu harus disertai dengan lampiran bukti-bukti otentik yang tidak hanya sekedar merupakan sebuah sinyalemen yang dipaparkan secara global. “Jangan melaporkan sesuatu yang masih bersifat global atau yang masih bersifat ‘katanya’. Jadi kalau dilaporkan ke pihak yang berwajib harus disertai dengan bukti. Yang melapor itu siapa, yang dilapor itu siapa, dan harus bertanggung jawab, nanti kita akan panggil untuk dilakukan konfirmasi,” cetus Wahibullah.
Secara keseluruhan, menurutnya, anggaran PKBM ini berasal dari dana APBD I dan dari dana APBN. Dana KF yang berasal dari dana APBN menurutnya berjumlah sekitar Rp 25 Milyar se-NTB yang dialokasikan per Kabupaten dan Kota yang masih rendah tingkat Keaksaraannya. “Untuk Loteng dialokasikan sebesar Rp 7,1 M, Untuk Lotim dialokasikan sebesar Rp 6,5 Milyar, untuk Kabupaten Bima sebesar Rp 6,7 Milyar, dan Kabupaten Lombok Utara sebesar Rp 2,3 Milyar. “Sementara untuk KF dari dana APBD I yakni untuk Lombok Barat dialokasikan sebesar Rp 7,8 Milyar dan untuk Kabupaten Sumbawa Rp 3,9 Milyar,” terangnya.
Sementara, kriteria PKBM yang mendapatkan bantuan dana ini yakni lembaga PKBM wajib memenuhi persyaratan yang harus dimiliki adalah Nomor Induk Lembaga yang dikeluarkan oleh Dirjen Diknas. “Disamping itu harus ada rekomendasi dari Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi,” tandasnya. (Garda Asakota ‘GA’. 212/211*)