[caption id="attachment_1020" align="alignleft" width="225" caption="Aktivitas Gunung Tambora (Google.com)"]
[/caption]
Perekayasa madya Badan Geologi, Heryadi Rahmat, meminta masyarakat untuk tidak mendaki Gunung Tambora, sehubungan dengan adanya peningkatan frekuensi gempa vulkanik dan gempa tremor di gunung yang terletak di antara Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu, NTB, itu.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi belum lama ini menaikkan status tiga gunung di Nusa Tenggara, termasuk Tambora, ke level II atau waspada. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa Tenggara Barat, Eko Bambang Sutedjo menyatakan, ada 4 tingkatan status gunung api – level I yang paling rendah adalah normal, level II adalah waspada, level III adalah siaga, dan level IV yang paling berbahaya adalah awas.
Eko juga menjelaskan, meski kini status Gunung Tambora naik tingkat menjadi waspada, namun hal itu belum termasuk kategori berbahaya. “Belum membahayakan masyarakat sekitar, sehingga belum perlu dilakukan evakuasi,” kata Eko di Mataram, Jumat, 2 September 2011. Ia juga meminta masyarakat untuk tidak terpengaruh isu yang dapat mengganggu ketenangan mereka. Eko menegaskan, masyarakat sekitar Tambora tidak perlu mengungsi.
Eko mengungkapkan, ada media nasional yang memberitakan status Tambora naik lagi ke level siaga, sehingga masyarakat yang tinggal di sana menjadi resah. “Berita status Tambora jadi siaga itu tidak benar. Aktivitas gempa vulkanik dan tremor masih seperti tanggal 30 Agustus 2011. Tidak terjadi peningkatan frekuensi gempa berarti, sehingga status Tambora tetap waspada,” terangnya.
Pada Senin, 29 Agustus 2011 lalu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi merekam 14 gempa vulkanik dalam dan gempa tremor berkelanjutan dengan amplitodo maksimum 5-8 mm di Rambora. Sementara Selasa, 30 Agustus 2011, terjadi 7 gempa vulkanik dalam dan 2 gempa vulkanik dangkal.
Heryadi mengatakan, gempa tremor terus-menerus dengan amplitudo 5-8 mm yang terjadi di Tambora, tergolong relatif kecil. Gempa tremor tersebut masih terjadi hingga hari ini. “Kami merekomendasikan kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terpicu isu letusan gunung, dan kepada pemerintah daerah setempat untuk berkoordinasi dengan pos pengamatan,” kata dia
Perkembangan terakhir terkait Gunung Tambora, kini tentu patut diwaspadai dan terus dipantau. Pasalnya, Tambora menyimpan sejarah kelam yang tak boleh diremehkan. Sejarah itu tercatat pada tanggal 11 dan 12 April 1815.
Setelah Tambora mulai bergemuruh dan ‘batuk-batuk’ sejak tanggal 5 April 1815, pada 11 April 1815 ia meletus. Getaran kibat letusannya mengguncang bumi hingga jarak ratusan mil, terasa sampai Eropa dan Amerika Utara. Jutaan ton abu dan debu memenuhi udara, mengubah siang menjadi gelap pekat.
Selama lebih dari 10 hari, Tambora mengeluarkan 24 kubil mil lava dan bebatuan gunung. Dahsyatnya letusan itu memunculkan kawah selebar 3 mil dengan kedalaman hampir 1 mil di puncak Tambora. Lelehan lava panas, batu yang beterbangan, dan gas mematikan yang keluar dari perut Tambora, menewaskan puluhan ribu orang.
Badan Geologi Amerika Serikat sampai menobatkan letusan Tambora sebagai letusan gunung yang terkuat sepanjang sejarah. Letusan Tambora bahkan 10 kali lipat lebih dahsyat dari letusan Krakatau, dan 10 ribu kali lebih besar dari letusan Gunung Eyjafjallajökull di Islandia tahun lalu yang mengacaukan lalu lintas penerbangan Eropa.
Tahun 1815 itu, seperti meriam raksasa, Tambora menyemburkan abu, debu, dan setidaknya 400 juta ton gas sulfur ke udara, hingga 27 mil tegak lurus ke strastofer, jauh di atas awan. Hal ini mengakibatkan ledakan di lapisan troposfer. Semburan Tambora bahkan menyobek lapisan tipis ozon yang melindungi bumi dari radiasi sinar matahari.
Daya tarik gravitasi yang ringan di angkasa, membuat abu dan debu Tambora melayang dan menyebar mengelilingi dunia. Debu Tambora menetap di lapisan troposfer selama beberapa tahun, sebelum turun kembali ke bumi melalui angin dan hujan.
Letusan Tambora berakibat luar biasa. Terjadi gagal panen di China, Eropa, dan Irlandia. Terjadi hujan tanpa henti selama 8 minggu di Eropa, yang memicu epidemi tifus yang menewaskan 65 ribu orang di Inggris dan Eropa. Terjadi kepalaran yang melumpuhkan Inggris dan Prancis. Kelaparan di Prancis bahkan lebih jauh lagi, menyulut kerusuhan di negeri itu.
Akibat letusan Tambora, kegelapan menyelimuti Bumi, menginspirasi novel-novel misteri legendaris seperti 'Darkness' karya Lord Byron, 'The Vampir' karya Dr. John Palidori dan 'Frankenstein' karya Mary Shelley. Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Tambora juga ikut mengubah sejarah, saat Napoleon kalah akibat musim dingin berkepanjangan dan kelaparan pada tahun 1815 di Waterloo.
“Tahun 1815 itu, tak ada musim panas, sehingga terjadi kelaparan hebat di Eropa, kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Bencana Geologi, Surono. Tahun itu dikenal di Eropa dengan julukan ‘The Year without Summer.’ Maka, jangan lelah dengan jejak kelam Tambora.
(Sumber : Vivanews; http://nasional.vivanews.com/news/read/244270-aktivitas-meningkat--tambora-tak-boleh-didaki )

Perekayasa madya Badan Geologi, Heryadi Rahmat, meminta masyarakat untuk tidak mendaki Gunung Tambora, sehubungan dengan adanya peningkatan frekuensi gempa vulkanik dan gempa tremor di gunung yang terletak di antara Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu, NTB, itu.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi belum lama ini menaikkan status tiga gunung di Nusa Tenggara, termasuk Tambora, ke level II atau waspada. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa Tenggara Barat, Eko Bambang Sutedjo menyatakan, ada 4 tingkatan status gunung api – level I yang paling rendah adalah normal, level II adalah waspada, level III adalah siaga, dan level IV yang paling berbahaya adalah awas.
Eko juga menjelaskan, meski kini status Gunung Tambora naik tingkat menjadi waspada, namun hal itu belum termasuk kategori berbahaya. “Belum membahayakan masyarakat sekitar, sehingga belum perlu dilakukan evakuasi,” kata Eko di Mataram, Jumat, 2 September 2011. Ia juga meminta masyarakat untuk tidak terpengaruh isu yang dapat mengganggu ketenangan mereka. Eko menegaskan, masyarakat sekitar Tambora tidak perlu mengungsi.
Eko mengungkapkan, ada media nasional yang memberitakan status Tambora naik lagi ke level siaga, sehingga masyarakat yang tinggal di sana menjadi resah. “Berita status Tambora jadi siaga itu tidak benar. Aktivitas gempa vulkanik dan tremor masih seperti tanggal 30 Agustus 2011. Tidak terjadi peningkatan frekuensi gempa berarti, sehingga status Tambora tetap waspada,” terangnya.
Pada Senin, 29 Agustus 2011 lalu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi merekam 14 gempa vulkanik dalam dan gempa tremor berkelanjutan dengan amplitodo maksimum 5-8 mm di Rambora. Sementara Selasa, 30 Agustus 2011, terjadi 7 gempa vulkanik dalam dan 2 gempa vulkanik dangkal.
Heryadi mengatakan, gempa tremor terus-menerus dengan amplitudo 5-8 mm yang terjadi di Tambora, tergolong relatif kecil. Gempa tremor tersebut masih terjadi hingga hari ini. “Kami merekomendasikan kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terpicu isu letusan gunung, dan kepada pemerintah daerah setempat untuk berkoordinasi dengan pos pengamatan,” kata dia
Perkembangan terakhir terkait Gunung Tambora, kini tentu patut diwaspadai dan terus dipantau. Pasalnya, Tambora menyimpan sejarah kelam yang tak boleh diremehkan. Sejarah itu tercatat pada tanggal 11 dan 12 April 1815.
Setelah Tambora mulai bergemuruh dan ‘batuk-batuk’ sejak tanggal 5 April 1815, pada 11 April 1815 ia meletus. Getaran kibat letusannya mengguncang bumi hingga jarak ratusan mil, terasa sampai Eropa dan Amerika Utara. Jutaan ton abu dan debu memenuhi udara, mengubah siang menjadi gelap pekat.
Selama lebih dari 10 hari, Tambora mengeluarkan 24 kubil mil lava dan bebatuan gunung. Dahsyatnya letusan itu memunculkan kawah selebar 3 mil dengan kedalaman hampir 1 mil di puncak Tambora. Lelehan lava panas, batu yang beterbangan, dan gas mematikan yang keluar dari perut Tambora, menewaskan puluhan ribu orang.
Badan Geologi Amerika Serikat sampai menobatkan letusan Tambora sebagai letusan gunung yang terkuat sepanjang sejarah. Letusan Tambora bahkan 10 kali lipat lebih dahsyat dari letusan Krakatau, dan 10 ribu kali lebih besar dari letusan Gunung Eyjafjallajökull di Islandia tahun lalu yang mengacaukan lalu lintas penerbangan Eropa.
Tahun 1815 itu, seperti meriam raksasa, Tambora menyemburkan abu, debu, dan setidaknya 400 juta ton gas sulfur ke udara, hingga 27 mil tegak lurus ke strastofer, jauh di atas awan. Hal ini mengakibatkan ledakan di lapisan troposfer. Semburan Tambora bahkan menyobek lapisan tipis ozon yang melindungi bumi dari radiasi sinar matahari.
Daya tarik gravitasi yang ringan di angkasa, membuat abu dan debu Tambora melayang dan menyebar mengelilingi dunia. Debu Tambora menetap di lapisan troposfer selama beberapa tahun, sebelum turun kembali ke bumi melalui angin dan hujan.
Letusan Tambora berakibat luar biasa. Terjadi gagal panen di China, Eropa, dan Irlandia. Terjadi hujan tanpa henti selama 8 minggu di Eropa, yang memicu epidemi tifus yang menewaskan 65 ribu orang di Inggris dan Eropa. Terjadi kepalaran yang melumpuhkan Inggris dan Prancis. Kelaparan di Prancis bahkan lebih jauh lagi, menyulut kerusuhan di negeri itu.
Akibat letusan Tambora, kegelapan menyelimuti Bumi, menginspirasi novel-novel misteri legendaris seperti 'Darkness' karya Lord Byron, 'The Vampir' karya Dr. John Palidori dan 'Frankenstein' karya Mary Shelley. Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Tambora juga ikut mengubah sejarah, saat Napoleon kalah akibat musim dingin berkepanjangan dan kelaparan pada tahun 1815 di Waterloo.
“Tahun 1815 itu, tak ada musim panas, sehingga terjadi kelaparan hebat di Eropa, kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Bencana Geologi, Surono. Tahun itu dikenal di Eropa dengan julukan ‘The Year without Summer.’ Maka, jangan lelah dengan jejak kelam Tambora.
(Sumber : Vivanews; http://nasional.vivanews.com/news/read/244270-aktivitas-meningkat--tambora-tak-boleh-didaki )