
Mengkristal manusia, bukan dikarenakan maraknya simbolitas fisik semata, akan tetapi parameternya adalah terbangunnya SDM yang berkualitas. Pada sisi non fisik ini diharapkan dapat menapak kembali titik balik arah perencanaan pembangunan masyarakat seutuhnya, yang harus ditempuh dan dijangkau menjadi kebutuhan fundamental daerah.
Membangun kepribadian, kesadaran, ahlak dan keuletan merupakan hal utama yang harus digenjot melalui program-program aktual dan terarah. Mengapa demikian? Kerena pada kenyataanya manusia daerah ini belum memiliki alternatif lain selain menunggu wangsit menjadi PNS. Mengapa sektor-sektor pekerjaan lain menjadi tak penting dan tak berkelas dalam status sosial di kalangan masyarakat kita? Sehingga begitu banyak manusia berpendidikan tinggi harus menjadi pengangguran berkelas (kata lain sarjana penganggur). Hal ini perlu dicurigai, bahwa distorsi SDM tengah berlangsung dan berdampak pada munculnya kelas sosial baru, yakni kelas manusia yang serba tanggung. Tidak bisa melakukan kerja kasar, dan tak dapat bekerja jika tidak kerja kantoran atau sejenisnya, karena tuntutan status sosial dan latar belakang pendidikan tinggi yang juga serba tanggung.
Untuk bersaing di lahan PNS yang terlanjur diidolakan itu, pun mereka harus menempuh jalan penuh liku untuk meraihnya. Bahkan ikut ber-gambler dengan berbagai praktik illegal yang menjamur—dipolarisasi secara alamiah oleh relasi jaringan KKN. Sementara kenyataan lain tak kalah rumitnya. Dalam institusi lembaga perguruan tinggi swasta lokal maupun luar daerah, semakin lemah dalam mencetak kualitas SDM yang mampu menjadi tenaga intelektual handal di bidangnya masing-masing. Indikatornya dapat dinilai dari realitas berbagai lembaga pendidikan tinggi yang ramai-ramai menjadikan institusi pendidikan sebagai lahan bisnis cetak ijazah. Dari ijazah sarjana Diploma, Strata satu sampai Strata tiga.
Kemudahan meraih sederetan gelar sarjana dari berbagai level dengan membeli, bukan saja merugikan para pelajar atau mahasiswa reguler berkualitas, yang dari golongan kelas menengah ke bawah. Akan tetapi yang lebih menyedihkan adalah semakin rendahnya nilai pendidikan itu sendiri dalam asumsi pencitraan. Dapat pula mengakibatkan dampak lebih buruk, yakni menurunnya antusias individu untuk berpacu meningkatkan kemampuan diri dalam meraih menjadi yang terbaik secara kompetitif, tentu dengan mengedepankan kualitas. Parameternya jelas, sebab kualitas akademik kini menjadi ironi—tidak dapat menjamin seseorang untuk dapat bersaing secara fear, lantaran standart untuk masuk di dunia kerja saat ini tidak menunjukkan lagi pertimbangan kualitas SDM. Image seperti itu terbangun cepat dan berkembang, mempengaruhi pola pikir, bahwa sukses itu dapat diraih dengan mudah, jika memiliki uang dan relasi internal untuk memuluskannya.
Bahkan per tahun, prosentase dari sekian perguruan tinggi lokal dalam meluluskan sarjananya mencapai angka ribuan. Kalau dilihat dari ketersediaan daerah dalam hal penyediaan lapangan kerja yang serba terbatas, ditambah lagi penyempitan aksesbilitas pendidikan bagi kalangan rakyat jelata, yang dihadapkan pada persoalan menukiknya biaya pendidikan. Maka dapat dipastikan daerah ini tidak lagi dipenuhi oleh penganggur putus sekolah, atau lulusan SMP dan SMA. Akan tetapi justru berbalik tajam, dipenuhi dengan penganggur berkelas yakni sarjana. Sarjana yang berjubel itu harus mengantri dan bersaing ketat di sebuah kota kecil yang sesak dengan lahan pekerjaan—ditambah lagi dengan mengeforianya merek standart status sosial yang membuming yakni “PNS”.
Para sarjana Bima berbagai bidang ilmu lulusan PTN, PTS yang menyebar di seantero Indonesia, ketika kembali ke daerahnya harus berhadapan dengan situasi dan iklim sosial baru. Kadang mereka terjebak dan tak dapat mengelak dari keterisolasian status sosial, karena lahan terpopulis di daerah ini hanyalah PNS, dianggap sebagai jenis pekerjaan yang bisa mendongkrat status sosialnya. Terkecuali bagi mereka yang berani memilih hidup menggeluti profesi ekstrim seperti menjadi politisi dan pegiat LSM sejati. Itu pun membutuhkan modal yang tak sedikit dengan persaingan yang semakin ketat.
Mau tidak mau pemerintah dalam hal ini paling tidak harus “melek” dan mulai memikirkan perencanaan program pemberdayaan manusia yang terarah dan sistimatis, lewat kebijakan pemberdayaan ekonomi mikro, usaha mandiri dan penguatan usaha kecil. Diharapkan kosentrasi manusia di daerah secara perlahan akan tergeser untuk membidik sumber daya lokal daerahnya agar dapat dieksplorasi secara maksimal dengan skill yang berimbang. Dampaknya, dapat membatasi SDM yang berimigran, yang mengadu nasib untuk menjadi buruh ke luar daerah. Sehingga populasi sarjana atau lulusan SMU yang menganggur setiap tahunnya dapat teratasi, atau paling buruk adalah mengambil langkah antisipasi dari distorsi SDM.
SDA daerah khususnya kekayaan hutan, malah semakin mengalami kondisi kritis. Dalam hitungan jam, bisa dikatakan bahwa seluas lapangan bola, hutan-hutan kita dilahap oleh illegal loging. Sedemikian buruk lagi, bila dalam penanganan penanggulangan hutan kritis hanya bertumpu pada program Gerhan—yang akhirnya menjadi bentuk lahan bisnis baru yang menggiurkan bagi siapa saja. Dimulai dengan perencanaan proyek pembibitan, penanaman, hingga pemeliharaan yang tak memenuhi standart kelayakan, hingga pada akhirnya keseluruhan hasil proyek Gerhan tersebut, dari tahun ke tahun tak menunjukkan adanya peningkatan populasi hutan.
Kawasan hutan pada kenyataannya tetap berwajah muram dan gersang. Lalu kemana sekian juta bibit Gerhan yang menguras uang negara milyaran rupiah setiap tahunnya itu di tanam? Ada beberapa faktor sekaligus indikator kegagalan, yakni semangat Gerhan itu tak dijadikan gerakan kesadaran, melainkan menjadi agunan proyek fisik semata. Kira-kira apa yang menjadi inspirator terjadinya penjarahan hutan di daerah kita? Pertama, adalah jenis bibit pohon yang ditanam, yakni jenis pohon produktif yang selalu dikonsumsi manusia seperti jenis kayu jati, kayu mahuni dan kayu-kayu lain sejenisnya, sehingga tetap diburu dan dijarah. Lalu mengapa jenis pohon yang membuat titik mata air seperti beringin tidak dipilih untuk digalakkan penanamannya? Jawabannya cukup sederhana, kerena jenis pohon tersebut tidak menguntungkan bagi hitungan bisnis, dan akan memangkas proyek reboisasi Gerhan untuk tahun-tahun berikutnya. Inspirator kedua, adanya jaringan illegal loging yang melibatkan berbagai kepentingan kebutuhan perut, oknum pejabat, oknum keamanan, penadah dan pedagang kayu.
Secara ilustratif, akibatnya; yang tersisa bagi masyarakat lokal adalah ranting-ranting patahan yang tak lagi memadai untuk mengasapi seperiuk sarapan pagi. Tak hanya itu, keselarasan alam pun runtuh. Yang tersisa hanyalah hutan gundul dengan pucuk-pucuk yang mudah tergerus erosi. Banjir bandang tanpa aba-aba akhirnya menghujam di setiap wilayah pada saat penghujan. Dampak terhadap kontruksi sosial pun begitu rumit, tak mudah dijelaskan. Kendali emosi dan kearifan lokal turut erosi, kian menepis. Dengan semua sumber daya alam yang tergerus itu, dan seluruh patahan serta serpihan yang mungkin sempat tersisa, masyarakat lokal di berbagai penjuru sekitar lahan hutan di Bima, tetap saja tidak tahu posisi mereka terhadap lalu-lalang perekonomian, apalagi sampai menyadari bahwa budaya buruk mengeruk hasil hutan sesungguhnya turut mempengaruhi ketersendatan meningkatnya taraf ekonomi mereka dan sumber pendapatan daerah.
Tekhnologi dan dampaknya
Walau direntang jarak, terpisah jauh bahkan beribu-ribu mil, kita tak bisa membayangkan bagaimana melihat dan masuk dalam situasi di belahan dunia lain. Seperti menonton sebuah film Holiwood tak disensor, dalam waktu yang bersamaan juga tengah ditonton oleh masyarakat kita di seluruh pelosok. Untuk menikmati berbagai layanan komersial yang ditawarkan pada iklan televise dan berbagai layanan global seperti internet, semakin memungkinkan siapa saja untuk melihat dan melakukan komunikasi langsung dengan siapapun yang berada di seluruh penjuru dunia. Jalannya transformasi nilai itu begitu cepat bahkan tanpa batas. Begitulah tekhnologi, dapat memberi manfaat bagi manusia, sekaligus dapat menyesatkan bagi yang menyalahgunakannya.
Tekhnologi kini bahkan begitu dekat dengan manusia, pun anak-anak di usia yang relatif sangat muda, telah dan dengan leluasa mengakses apa saja, dan bisa menjelajah ke wilayah dunia manapun. Bukan hanya audio visual dan layanan fasilitas canggih yang mudah di akses dengan hitungan detik, bahkan perangkat lunak tersebut secara tidak langsung juga telah bertindak sebagai guru privat bagi anak-anak kita.
Beberapa kemungkinan akan terjadi dari globalisasi tekhnologi. Sisi baiknya adalah dapat membuka jendela cakrawala bagi ilmu pengetahuan. Sisi buruknya, bisa jadi dapat menjadi momok untuk melumpuhkan nilai, etika dan moral bagi anak-anak dan remaja, yang mana batasan usia ini, psikologisnya masih labil dan rentan. Bayangkanlah bagaimana mentalitas moral remaja dan anak-anak, perilaku dan gaya hidupnya yang sudah jauh menyebrang dari norma dan tata nilai agama dan budaya yang kita anut? Anak-anak tumbuh dan besar bukan lagi di asuh oleh didikan orang tua dan keluarga, yang mengajarkan nilai, etika, moral dan budi pekerti. Akan tetapi pendidikan pertama mereka justru diadopsi dari tayangan sinetron Televisi, kemudian dihipnotis oleh berbagai suguhan tekhnologi, tayangan porno, Game, kekerasan—serta merta teriming-iming oleh segudang iklan televisi yang terus mendidik generasi baru untuk berkonsumtif ria.
Ketika meraba kembali kepada apa yang disebut dimensi budaya, akan gamblang segala sesuatunya pasti akan terkait dengan nilai estetika dan aturan-aturan yang berlaku pada suatu tradisi sebuah komunal. Maka kehadiran nilai dan estetika pun dalam segala ranah kehidupan manusia, dengan serta-merta mebentuk karakter serta kekhasan. Bahkan kebudayaan tidak tumbuh secara gradual, menurut kaidah fisikal semata. Budaya yang didalamnya mengandung berbagai unsur penciptaan manusia, yang kemudian melekat dalam kerangka berpikir dan berperilaku—yang menghasilkan pula sains dan tata nilai. Maka apapun tata nilai hari ini adalah wujud dimensi keterjangkauan karya manusia atau sebaliknya, ketidak-terjangkauan manusia untuk menangkis globalisasi budaya yang terus membiak disetiap ruang dan waktu, dimana ruang manusia untuk berpikir dan bergerak.
Dari berbagai sejarah negara-negara besar di dunia, yang menjadikan entitas kulturalnya (budaya) justru sebagai pendongkrak kemajuan ke arah yang lebih baik. Lalu timbul pertanyaan bagi kita, mengapa sumber daya cultural lokal yang menjadi identitas daerah ini malah tidak tereksploitasi secara kreatif—melahirkan berbagai bentuk pembangunan masyarakat yang lebih implementatif dan aplikatif bagi perubahan dan kemajuan daerah? Maja labo dahu merupakan bentuk entitas kultural Bima, yang kian kehilangan urgensi aktual budayanya, serta kehilangan eksistensinya di berbagai ranah kebijakan pembangunan daerah.
Saya terkesima dengan bahasa filosofis tua tanah Bima “maja Labo dahu”. Frase eksotik tersebut, tergurat jauh oleh para pendahulu tanah keramat ini, bahkan telah berusia purba. Meski demikian kekuatan dalam maknanya masih menyihir generasi ke generasi. Jika pun kini telah menjadi simbol agunan politik kekuasaan lokal, namun keberadaannya paling tidak menampakkan bahwa daerah ini telah lama meranggas sinergisitas hubungan Tuhan, manusia dan alam. Membangun dialegtika think globaly seperti yang pernah dianut dan yang telah memberi inspirasi negara-negara Eropa untuk bangkit dari keterpurukkannya, mengingatkan kita pada frase filosofis yang dimiliki daerah ini“maja labo dahu”, bahkan kehadirannya lebih jauh mendahului Think globally yang pernah dianut oleh masyarakat negara-negara Eropa. Tetapi mengapa maja labo dahu menjadi nisbi, tak bertenaga atau tak memantulkan cahaya kebangkitan kesadaran manusia Bima? Di sinilah akar persoalannya, kita memang tengah dilanda krisis identitas. Bukan hanya kehilangan identitas sebagai pribadi, daerah dan bangsa, bisa jadi mungkin lebih menyakitkan; “kita kehilangan tujuan dan arah untuk maju dan berkembang”.
*Penulis adalah Penggiat Komunitas KERTAS Dana Mbojo