
Sejak tahun 1999 HTN ‘Batawawi’ dikelola oleh masyarakat kelurahan Rite, Tolotando, santi dan Rabantala Kota Bima secara swadaya atas persetujuan (rekomendasi) dari pemerintah kabupaten Bima (Sebelum pemekaran wilayah Kota & Kabupaten Bima) dalam rangka pemberdayaan serta pemanfaatan kawasan hutan. Atas kesadaran kolektif masyarakat, HTN ‘Batawawi’ terjaga dengan baik. Lokasi ini tidak jauh dari Ndano Na’e – Ntobo, lokasi tumbuh suburnya ribuan pohon aren yang terjaga dengan baik.
Pemanfaatan HTN ‘Batawawi’ dilakukan secara baik oleh masyarakat Kota Bima (Rite, Tolotando, Santi dan Rabantala). Pembagian areal pemanfaatan hutan dilakukan secara adil. Meskipun belakangan, mulai muncul spekulasi serta konspirasi antara masyarakat, pihak kehutanan maupun pemodal, sehingga pembagian lokasi dan pembauran areal Nampak dilakukan secara diskriminatif.

Upaya pemanfaatan sekaligus penghijauan kembali HTN 'Batawawi', didasari oleh kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian wilayah hutan sebagai 'penolak' bencana alam. Sehingga pada tahun 2001 dibentuklah Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) yang didipimpin oleh bapak Zainal, warga Tolotando-Asakota selaku ketua Gapoktan 'Batawawi', hingga saat ini. Hal tersebut disambut baik oleh pemerintah daerah.

Namun, Ironisnya, sejak tahun 2009 kemarin, pemerintah Kota Bima melarang Kelompok Gapoktan ‘Batawawi’ untuk tidak lagi melakukan penggarapan (pemanfaatan lahan) untuk menanaman Tumpangsari, seperti yang dilakukan selama ini. Karena dikhawatirkan akan menganggu tanaman yang sudah ada, baik yang di swadaya maupun yang diprogramkan oleh pemerintah. Sehingga Sejak saat ini HTN 'Batawawi' terbengkalai.
Sehingga akibat pelarangan penanaman tumpangsari (meski tidak menggangu pohon-pohon besar yang telah tumbuh lama) Dalam 3 bulan terakhir (Pebuari – Mei 2011) Masyarakat sekitar HTN ‘Batawawi’ gencar melakukan pembalakan liar, baik pembalakan yang dilakukan pada pagi hari maupun malam hari tanpa ada aparat atau pihak terkait yang memantau dan menindak. Karena tekanan ekonomi dan penghidupan yang kekuarangan, sehingga masyarakat sekitar wilayah HTN ‘Batawawi’ yang merasa memiliki hak atas manfaat HTN tersebut berebut melakukan pembalakan.hal ini dilakukan semenjak pelarangan menanam tanaman Tumpangsari (Padi, Jagug, ubi, palawija, kadelei, dll) dalam areal HTN 'Batawawi'.
Sumber BABUJU Report yang tidak ingin namanya di mediakan menuturkan

Sumber tadi juga melanjutkan bahwa banyak juga para pembalak yang dibayar oleh pemodal untuk mengeruk keuntungan dari kayu-kayu yang ada. Hal ini diketahui setelah dirinya diminta oleh seorang pengusaha kayu agar mengumpulkan orang untuk menebang pohon di HTN ‘Batawawi’. “saya ditawarkan dengan gaji yang lumayan, ngumpulin penebang untuk dikerjakan dipuncak ‘Batawawi’, namun saya tolak karena saya tahu bahwa hutan tersebut masih berstatus Hutan Tutupan” Sambungnya menjelaskan.
Ditanya terkait tindakan maupun upaya aparat desa maupun petugas dari kehutanan, sumber menyatakan bahwa sempat datang beberapa orang petugas dari Kehutanan Kota Bima beberapa bulan lalu. Tapi hanya datang melihat dan pergi begitu saja tanpa ada upaya lanjutan dalam menekan pembalakan yang ada disini. “jika mas naik diatas, mas hanya akan menemukan hamparan tandus kering yang terbengkalai begitu saja, padahal diareal itu dua tahun silam sangat rimbun dengan pepohonan yang besar-besar. Kini, itu semua sudah tinggal kenangan mas” Imbuhnya Kecewa.
Jika ditelisik dari informasi sumber tadi, bahwa sesungguhnya aparat kehutanan kota Bima serta aparat desa sekitar itu tahu akan hal ini, namun tidak ada upaya maupun tindakan dalam menanggulanginya. Entah karena ada spekulasi dan konspirasi antara oknum aparat tersebut dengan masyarakat dan pengusaha atau memang sengaja dibiarkan. Hal ini sesungguhnya harus menjadi atensi khusus bagi pihak Kehutanan maupun pemerintah Kota Bima.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi balik dari pihak Dinas Kehutanan Kota Bima atas illegal logging yang terjadi di HTN 'Batawawi'. (Liputan: Jefri/Bhiken)