
Semua peserta mengeluarkan tekhnik dan gaya yang maksimal dalam memukau hadirin serta Dewan Juri. Akan tetapi telinga para juri Dewan Hakam tertuju pada Lantunan Suara dari Rizki Jumiati atau biasa di sapa Rizki atau Putri. Gelapnya malam pada saat itu tidak mempengaruhi penonton untuk terpaku mendengar Lantunan Ayat Suci Al-Qur`an yang keluar dari mulut Rizki yang berdomisili di Sadia 2 kel. Sadia Kec. Mpunda,
Seorang anak berusia 16 tahun, anak pertama 3 bersaudara dari pasangan Sahril (37) dan Nuraini (35). Adiknya telah duduk dikelas 1 SLTP sedangkan yang bungsu masih dikelas IV SD saat ini. Sementara Rizki sendiri masih duduk di kelas V SDLB (sekolah Dasar Luar Biasa). Yang seharusnya, dia kini sudah menginjakan kakinya di SMU.
Rizki menderita cacat fisik sejak berusia satu bulan, penyakit yang berawal dari sakit mata biasa, namun karena kekurangan biaya untuk berobat, sakit tersebut dibiarkan dan kadang-kadang diobati dengan pengobatan tradisional. Namun akhirnya, berakibat fatal, sehingga Rizki hingga saat ini mengalami kebutaan permanen dan pertumbuhan fisiknya pun terhambat. Sedangkan Ibunya hanyalah penjual gorengan keliling dan bapaknya hanya buruh tani.
Meski dengan keterbatasan fisik yang ia miliki, berjalan sambil meraba ketika harus membantu orang tuanya, Rizki adalah asset kota Bima yang tidak ternilai. Tidak mudah melantunkan ayat-ayat Al Quran dalam keadaan Buta, apa lagi menjadi jawara pelantun Ayat-ayat suci se-Kota Bima.
Dari kemampuan yang dimiliki, Rizki mampu meraih berbagai Prestasi MTQ Kec. Rasanae Barat Juara 1 Tingkat Kecamatan, Jawara pembaca terbaik ayat pendek Al Quran se-Kota Bima (2010), Qari terbaik II golongan Tuna Netra MTQ se-kota Bima (2007/2008). Dan terakhir pada desember yang lalu, Ia menjuarai MTQ Se-Kota Bima (2010).
Namun, Lagi-lagi, Asset daerah yang bernama Rizki Jumiati hanya menjadi tontonan penghibur sesaat seperti ketika berada diatas panggung MTQ, pasca itu, ia tetap menjadi seorang gadis buta yang sekali-kali berhasrat untuk bisa hidup normal seperti yang lainnya. Pemerintah hanya mampu memberikan ‘sebongkah’ piala yang hanya bisa menjadi pajangan semata, sedangkan potensi dan kemampuan yang dimiliki tidak dihargai dengan cara lain, cara yang lebih membangun jiwa dan tekadnya untuk terus hidup dengan asahan kemampuan yang didukung dari berbagai arah.
Bila pe-dangdut, pe-musik, politisi, para koruptor, serta para penjual ‘akidah’ dihargai dengan gagah, kenapa Rizki, sang gadis lugu yang selalu mengingatkan kita tentang tanggungjawab sesama serta hari akhir nanti melalui Ayat-Ayat suci yang dilantunkannya dengan indah, malah tidak dihargai sama sekali, minimal diberikan motivasi untuk tetap memacu diri menjadi orang besar seperti kemauannya yang besar. Kini, MTQ Tahun ini (2011), Rizki tidak bisa memaksimalkan diri, karena harus membantu kedua orang tuanya, sebab adik-adiknya mulai membutuhkan biaya sekolah yang lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Tiada yang lirik pun tiada yang pertanyakan, kemana sang Jawara MTQ tahun lalu, kini?. (Liputan : Nissa)