![]() |
Oleh: JULHAIDIN
Tamparan keras untuk dunia Pendidikan Kota Bima kembali
terjadi, Dana yang seharusnya untuk Siswa Miskin, ‘disunat’ oleh Pihak sekolah
melalui Kepala sekolah atas nama pembangunan dan perbaikan sekolah. Hal tersebut
terjadi di SDN 62 Kota Bima beberapa waktu yang lalu.
Fenomena ‘penyunatan’ Dana Bantuan untuk Siswa Miskin (BSM)
Kota Bima, bukan saja terjadi kali ini. Awal bulan April yang lalu, pemotongan
Dana BSM juga terjadi di SDN 32 Kota Bima. Pemotongan itu memang tak seheboh
yang terjadi di SDN 62 Kota Bima. Namun, memiliki alasan yang sama, yaitu,
Perbaikan pagar sekolah dan untuk taman sekolah.
Jika di SDN 32 Kota Bima yang dipotong sebesar Rp 20.000
persiswa sebanyak 24 siswa penerima BSM, sedangkan di SDN 62 Kota Bima dipotong
sebesar Rp 40.000 sebanyak 46 siswa Penerima. Dan hal ini dilakukan dengan
alasan yang sama, padahal, perbaikan pagar sekolah maupun memperindah taman
sekolah bisa dilakukan melalui Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah; red). Ada kemungkinan beberapa sekolah
lain juga melakukan hal yang sama namun tidak terekspos oleh Media, sehingga
tidak mencuat kepermukaan.
Yang menjadi pertanyaan kita bersama, mengapa Kepala sekolah
berani memotong dana BSM yang bukan haknya. Meski kepsek yang bersangkutan
mengetahui dan menyadari bahwa dana tersebut tidak boleh dipotong sepeserpun oleh
sekolah dengan alasan apapun. Namun hal ini terjadi. Ada beberapa kemungkinan
dapat dijadikan analisis.
Pertama, Sekolah
di Kota Bima berlomba-lomba memperindah sekolah dalam rangka mendapatkan
sanjungan dari Pejabat terkait maupun pejabat tinggi di Kota Bima. Hal ini
lumrah saja terjadi, meraih penghargaan dengan berbagai cara sudah bukan lagi
rahasia umum. Sebab dengan mendapatkan pujian tersebut berdampak pada
peningkatan ‘bonus’ serta akan mendapatkan undangan untuk mengikuti berbagai
event Regional maupun Nasional. Namun peningkatan SDM menjadi ‘korban’ yang tak
terelakan.
Tidak sedikit siswa-siswi berpotensi di Bima muncul dari
sekolah-sekolah yang nampak biasa dari daerah biasa dan tidak mengejar
sanjungan yang berlebihan. Tidak sedikit murid-murid berprestasi dilahirkan
dari sekolah-sekolah yang berdinding kusam, namun hal itu kadangkala dan
cenderung dianggap aneh. “Masa sekolah kumuh melahirkan siswa cerdas….??”
Pertanyaan Ironi yang sering muncul dibeberapa pembicaraan tentang dunia
pendidikan kita.
Kedua, hanya
dengan cara demikian, Oknum Kepsek atau oknum guru bisa menambah ‘kesejahteraan’
pribadi. Sebab, Dana BOS sudah tidak bisa lagi ‘dimainkan’ karena aturan ketat
yang mengharuskan untuk di Pihak ketiga-kan. Banyak kasus sebelumnya yang menyeret
para Kepsek ke jalur Hukum akibat pengelolaan dana BOS tidak dipihak
ketiga-kan, sehingga sulit bagi oknum Kepsek ingin memperkaya dirinya dengan
dana BOS.
Ketiga, Oknum kepsek
yang kerap ‘menyunat’ dana BSM akibat banyak utang atau terlalu muluk-muluk
menjanjikan sesuatu kepada pihak oknum pegawai Dinas terkait untuk meloloskan
proyek ataupun sesuatu program terhadap sekolah tersebut. Tak heran bila alibi yang muncul kemudian adalah ‘untuk
kepentingan sekolah’. Sehingga kepsek tidak bisa lolos dari jeratan ‘pungli’
yang dilakukan serta tagihan yang men-teror.
Kondisi ini semakin diperparah dengan sikap individualistic serta
kondisi daerah yang serba mengejar Prestise
dari pada prestasi. Memprioritaskan ambisi
untuk meningkatkan martabat sebagai orang ‘berpunya’ dari pada memperbaiki
martabat sebagai orang berpekerti. Kondisi yang (mungkin) me-virus-i semua
daerah di Indonesia ini memperkeruh social budaya dan social politik daerah. Kompetisi
‘Balas Jasa’ dan ‘Balas Dendam’ menggerogoti hubungan emosional antar kerabat dan
antar sahabat.
Pendidikan yang seharusnya menjadi ‘filter’ yang efektif berubah
menjadi ‘pusaran’ politik mengejar kekuasaan dan politik loyalitas semu terhadap
atasan. Pembaca bisa menanyakan kepada para tetangga, sahabat dan kerabat
dimuka Bumi Mbojo yang sedang berada dalam system Birokrasi Bima, bahwa banyak
penyimpangan social dan ketimpangan system yang terjadi namun tak kuasa ‘dilibas’
oleh kekuatan kebenaran dan kekuasaan idealita yang dimiliki oleh seorang
individu. Sebab kesalahan sudah mewarisi segala lini kebiasaan. Mulai dari para
penganyom hingga para teladan dan tokoh yang ada.
Kembali pada diri kita, apakah mesti diam melihat kesalahan
yang dibiasakan hingga bermetamorfosis pada pembenaran? Ataukah sama-sama kita
gerogoti pola-pola yang ada hingga ‘salah tetap dikatakan salah dan benar tetap
dikatakan benar’ untuk anak cucu kita kedepan. Lebih-lebih dalam dunia
pendidikan yang menentukan karakter anak-anak kita kelak….!!! Kami Mengajak……
Wallahualambisawab