BABUJU Report,- Di era 60 an hingga 90 an, eksistensi Benhur cukup berarti bagi masyarakat Bima. Bisa dikata, Benhur adalah alat transportasi andalan pada masa itu dan bersaing pula dengan angkutan umum lainnya seperti Bemo Kota. Namun kini memasuki era tahun 2000 an, keberadaan Benhur makin tersisih dengan menjamurnya Ojek dan transportasi umum lainnya.
Pada tiga dekade itu, kampung Sadia Kecamatan Mpunda Kota Bima, bisa dikatakan sebagai kampungnya Benhur. Hampir setiap rumah ditemui Benhur dan Gerobak serta kuda yang diikat di bawah kolong rumah maupun di halaman rumah warga.
Warga kampung Sadia memang tidak memiliki sawah dan kebun meskipun kampung ini dikelilingi oleh sawah dan kebun. Karena lahan itu justru dimiliki oleh penduduk di luar Sadia. “ Mata pencaharian utama warga Sadia adalah menjadi kusir Benhur, kuli bangunan, tukang, penjual Tempe, dan buruh tani “ Ujar Pak Karim (65 Thn) di kediamannya di RT 5 RW I kelurahan Sadia.
Pak Karim atau yang akrab disapa Ama Kero itu kini telah “ Pensiun “ dari kusir Benhur. Pada tiga dekade yaitu tahun 60 an hingga 90 an, kehidupan keluarga Ama Kero banyak ditopang oleh profesinya sebagai kusir Benhur. “ Dulu langganan saya banyak, anak-anak sekolah di SDN Bima 3 dan sekitarnya menjadi pelanggan tetap Benhur saya dan Alhamdulillah dengan pembayaran bulanan yang didapat mampu menyekolahkan anak-anak saya.” Kenang Ama Kero.
Memasuki usia senja dan dipengaruhi pula dengan menjamurnya Ojek di kampung Sadia, Ama Kero mulai melepas kuda dan Benhurnya. “ kalau dulu sehari saya bisa dapatkan sekitar tiga puluh bahkan sampai lima puluh ribu per hari setelah mengantar langganan di sekolah-sekolah, namun dengan maraknya ojek saya hanya bisa dapat lima belas ribu rupiah, itu pun kalau dapat. “ Papar Ama Kero.
Pendapatan itu tentu tidak mencukupi biaya hidup sehari-hari serta untuk membeli rumput dan dedak. “Apalagi kalau musim hujan, dedak sangat sulit didapatkan dan harganya mahal“ Lanjut Ama Kero. Ama Kero dan warga Sadia lainnya yang dulu berprofesi sebagai kusir Benhur telah banyak yang menjual Benhur dan kudanya ke wilayah-wilayah pedalaman di Kabupaten Bima.
Mereka adalah saksi sejarah tersisihnya Benhur sebagai alat transportasi masyarakat Bima tempo dulu. Benhur sendiri tentu bukanlah alat transportasi tertua di daerah ini, dulu sebelum Benhur ada alat transportasi yang dinamakan Dokar. Namun dokar pun tersisih oleh Benhur, dan kini rupanya telah menjadi ketentuan sejarah bahwa Benhur mulai tersisih. “di Sadia ini, tinggal beberapa orang saja yang masih berprofesi sebagai Kusir. Merek, kusir-kusir yang masih muda terpaksa mengikuti tuntutan zaman dan beralih profesi sebagai Tukang Ojek.” Urai Ama Kero.
Keberadaan Benhur dan Gerobak sebagai sumber mata pencaharian warga di Sadia dan di Bima pada umumnya selama tiga dekade terakhir juga sering menjadi bahan pembicaraan di jajaran pemerintah daerah baik dari sisi kesehatan maupun dalam upaya Pemerintah Daerah untuk mewujudkan Daerah Bima yang bersih. Karena kotoran kuda yang tercecer di jalan raya, di tempat-tempat umum, maupun di lingkungan pemukiman sangat tidak mendukung upaya kebersihan kota Bima. “Kalau menyangkut kotoran kuda tergantung kesadaran kusirnya. Memang sih, banyak juga pemilik Benhur yang tidak melengkapi Benhurnya dengan perlengkapan sekop dan penampung kotoran Kuda. Ini yang justru menjadi masalah selama ini. Jadi perlu kesadaran bersama untuk saling menjaga kebersihan dan keindahan kota ini“ saran Ama Kero.
Namun Ama Kero mewakili para pemilik Benhur di daerah ini tidak setuju kalau Benhur yang makin tersisih ini dihapuskan. Yang lebih arif menurut kakek 6 cucu ini adalah melestarikan Benhur untuk keperluan pariwisata, serta mengatur pangkalan serta jalur-jalur yang semestinya dilewati Benhur. Karena di daerah-daerah lain seperti di Jogjakarta dan Lombok, Benhur dijadikan alat transportasi bagi wisatawan dan jalur Benhur ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Benhur yang makin tersisih, akankah benar-benar tersisih ? hanya sang waktu dan peradabanlah yang akan menjawabnya. (*)
Sumber Link: http://www.kampung-media.com/index.php?option=com_content&view=article&id=193:benhur-yang-makin-tersisih&catid=28:artikel-&Itemid=34
Pada tiga dekade itu, kampung Sadia Kecamatan Mpunda Kota Bima, bisa dikatakan sebagai kampungnya Benhur. Hampir setiap rumah ditemui Benhur dan Gerobak serta kuda yang diikat di bawah kolong rumah maupun di halaman rumah warga.
Warga kampung Sadia memang tidak memiliki sawah dan kebun meskipun kampung ini dikelilingi oleh sawah dan kebun. Karena lahan itu justru dimiliki oleh penduduk di luar Sadia. “ Mata pencaharian utama warga Sadia adalah menjadi kusir Benhur, kuli bangunan, tukang, penjual Tempe, dan buruh tani “ Ujar Pak Karim (65 Thn) di kediamannya di RT 5 RW I kelurahan Sadia.
Pak Karim atau yang akrab disapa Ama Kero itu kini telah “ Pensiun “ dari kusir Benhur. Pada tiga dekade yaitu tahun 60 an hingga 90 an, kehidupan keluarga Ama Kero banyak ditopang oleh profesinya sebagai kusir Benhur. “ Dulu langganan saya banyak, anak-anak sekolah di SDN Bima 3 dan sekitarnya menjadi pelanggan tetap Benhur saya dan Alhamdulillah dengan pembayaran bulanan yang didapat mampu menyekolahkan anak-anak saya.” Kenang Ama Kero.
Memasuki usia senja dan dipengaruhi pula dengan menjamurnya Ojek di kampung Sadia, Ama Kero mulai melepas kuda dan Benhurnya. “ kalau dulu sehari saya bisa dapatkan sekitar tiga puluh bahkan sampai lima puluh ribu per hari setelah mengantar langganan di sekolah-sekolah, namun dengan maraknya ojek saya hanya bisa dapat lima belas ribu rupiah, itu pun kalau dapat. “ Papar Ama Kero.
Pendapatan itu tentu tidak mencukupi biaya hidup sehari-hari serta untuk membeli rumput dan dedak. “Apalagi kalau musim hujan, dedak sangat sulit didapatkan dan harganya mahal“ Lanjut Ama Kero. Ama Kero dan warga Sadia lainnya yang dulu berprofesi sebagai kusir Benhur telah banyak yang menjual Benhur dan kudanya ke wilayah-wilayah pedalaman di Kabupaten Bima.
Mereka adalah saksi sejarah tersisihnya Benhur sebagai alat transportasi masyarakat Bima tempo dulu. Benhur sendiri tentu bukanlah alat transportasi tertua di daerah ini, dulu sebelum Benhur ada alat transportasi yang dinamakan Dokar. Namun dokar pun tersisih oleh Benhur, dan kini rupanya telah menjadi ketentuan sejarah bahwa Benhur mulai tersisih. “di Sadia ini, tinggal beberapa orang saja yang masih berprofesi sebagai Kusir. Merek, kusir-kusir yang masih muda terpaksa mengikuti tuntutan zaman dan beralih profesi sebagai Tukang Ojek.” Urai Ama Kero.
Keberadaan Benhur dan Gerobak sebagai sumber mata pencaharian warga di Sadia dan di Bima pada umumnya selama tiga dekade terakhir juga sering menjadi bahan pembicaraan di jajaran pemerintah daerah baik dari sisi kesehatan maupun dalam upaya Pemerintah Daerah untuk mewujudkan Daerah Bima yang bersih. Karena kotoran kuda yang tercecer di jalan raya, di tempat-tempat umum, maupun di lingkungan pemukiman sangat tidak mendukung upaya kebersihan kota Bima. “Kalau menyangkut kotoran kuda tergantung kesadaran kusirnya. Memang sih, banyak juga pemilik Benhur yang tidak melengkapi Benhurnya dengan perlengkapan sekop dan penampung kotoran Kuda. Ini yang justru menjadi masalah selama ini. Jadi perlu kesadaran bersama untuk saling menjaga kebersihan dan keindahan kota ini“ saran Ama Kero.
Namun Ama Kero mewakili para pemilik Benhur di daerah ini tidak setuju kalau Benhur yang makin tersisih ini dihapuskan. Yang lebih arif menurut kakek 6 cucu ini adalah melestarikan Benhur untuk keperluan pariwisata, serta mengatur pangkalan serta jalur-jalur yang semestinya dilewati Benhur. Karena di daerah-daerah lain seperti di Jogjakarta dan Lombok, Benhur dijadikan alat transportasi bagi wisatawan dan jalur Benhur ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Benhur yang makin tersisih, akankah benar-benar tersisih ? hanya sang waktu dan peradabanlah yang akan menjawabnya. (*)
Sumber Link: http://www.kampung-media.com/index.php?option=com_content&view=article&id=193:benhur-yang-makin-tersisih&catid=28:artikel-&Itemid=34