Fenomena Malam Minggu Amahami, Lawata dan Dantraha
Tim Investigasi BABUJU,- Jika pada tulisan sebelumnya, kita diajak mengikuti konvoi anak-anak SMU Bima yang merayakan kelulusannya, pada tulisan kali ini kita akan mengikuti konvoi malam mingguan muda mudi Dana Mbojo yang berakhir di Amahami, Lawata maupun Dantraha. Sebab, dalam setiap malam minggu, lokasi ini tidak pernah sepi dari hilir mudik para Muda Mudi Dana Mbojo. Berikut catatan Tim Investigasi BABUJU
Siapa yang tidak menantikan hari sabtu? Yang tua-tua, para pebisnis, karyawan-karyawati perusahaan, pegawai birokrasi, mahasiswa-mahasiswi, lebih-lebih para muda-mudi. Hari sabtu adalah hari ke enam dari tujuh hari yang disepakati dalam seminggu. Dan pada hari sabtu itu orang-orang entertaint sering menyebutnya “week end”. Pada sabtu malam atau lebih trend dengan sebutan Malam Minggu, menjadi malam yang dinanti-nanti oleh banyak orang. Ada yang sekedar melepas lelah untuk berlibur bersama keluarga, berkumpul bersama sanak saudara, ngumpul bersama kerabat, atau sekedar untuk menghibur diri, intropeksi diri atau kebanyakan memanfaatkan malam minggu untuk mengadu kasih dan memadu mesra bersama pasangan.
Di Dana Mbojo, tidak jauh berbeda dengan daerah yang lain, jalan raya dimalam minggu menjadi sesak oleh para pengendara yang melintasi. Ada yang uring-uringan karena Jomblo dan menghabiskan waktu dijalan raya tanpa tujuan, ada yang hanya sekedar mutar-mutar ingin menikmati suasana jalan raya sambil berkendaraan, ada pula yang memang kebetulan lewat untuk menuju tempat sanak saudara, kerabat maupun keluarga. Namun tentu yang paling banyak adalah para muda-mudi, baik dengan pasangan maupun tanpa dengan pasangan, menerobos jalanan malam minggu hanya ‘untuk sepotong sanjungan’, -Meminjam bahasanya N. Marewo dalam puisi “Dana Mbojo, Dana Mbari”
Namun di Dana Mbojo, menerobos jalanan dimalam minggu tanpa pasangan lawan jenis dianggap nggak gaul dan dianggap ‘nggak laku’. Paradigma asumsi ini mencokol indah dibenak para remaja Bima hari ini. Sehingga bila tanpa pasangan ketika konvoi dijalanan meski tidak dalam berkelompok, maka terkesan ugal-ugalan hanya untuk mengesankan bahwa, ia bebas dengan ‘kebebasan’ yang di tampakkannya.
Bagi yang berpasangan, tujuan akhir yang paling nyata ditemukan setelah bosan berkeliling dijalanan, tiada lain adalah Amahami, Lawata atau bila tidak ingin diganggu dengan kebisingan yang menderu telinga, maka Dantraha (Kuburan Raja) adalah pilihan tempat yang paling nyaman dan aman. Jikapun tidak pada ketiga tempat tersebut, ujung-ujungnya mangkal diwarung Bakso atau singgah dikost teman hingga malam menjemput larut.
Nah, berbicara Amahami, wilayah Amahami itu bukan saja dilapak lesehan kopi itu, namun memanjang hingga tikungan sub-distribution areal ‘Coca Cola’. Dalam tulisan ini, membahas tentang Amahami yang bukan di lesehan kopi. Begitu pula dengan Lawata, bukan diluar yang tersinari jelas oleh lampu jalan sekian puluh watt, namun didalam areal wisata Lawata itu sendiri yang tanpa lampu. Juga tentang Dantraha, bukan didalam Kuburan Raja yang dikeramatkan, namun dipinggir-pinggir tebing penuh remang-remang cahaya Kota dari kejauhan.
Jika waktu telah beranjak ke pukul 22.00 Wita, mulailah tempat-tempat yang disebutkan diatas dijejaki oleh sepeda motor, tentu semuanya berpasangan. Alas an klasik selalu digunakan bila patroli ‘bergentayangan’ pada jam tersebut, dan tertangkap berduaan. “Hanya duduk istrahat kok, kami nggak ngapa-ngapain”. Namun sayang seribu kali sayang, bila rasional dan tidak panic, itu adalah jawaban yang keliru. Sebab dijawab ditempat remang-remang, dan sedang duduk dibalik semak-semak tanpa seorang pun dapat mengintipnya. Sebab, masih banyak tempat disekitar itu yang ber-cahaya lampu dan aman dari sergapan razia patroli meski hanya jam 22.00 Wita, setelah atau sebelumnya. Ya, tetap aman-aman saja untuk melakukan hal apapun. Karena memang Patroli hanya dikerahkan pada tepat jam 22.00 saja, setelahnya…?? (cari tahu sendiri ya…..)
Sepasang muda mudi yang ditemui oleh Tim Investigasi yangsedang duduk mesra diatas motornya menyatakan bahwa mereka memarkir motor ditempat itu hanya ingin menikmati suasana malam minggu sambil istrahat sejenak diatas motor. “kami hanya istrahat disini sebentar mas, kami tidak melakukan apa-apa. Saya tidak tahu yang lain” Ujar pria yang diperkirakan baru berumur 22 tahun tersebut.
Ia menambahkan bahwa keadaan seperti ini tidak perlu diherankan. Menurutnya, tidak sedikit yang bermesum dan sex part time diatas motor tanpa diketahui. Cukup memarkir motor menahan silau lampu kendaraan yang melintasi dan apapun yang dilakukan dibalik motor tersebut tidak ada yang tahu. Jika dihitung motor yang terparkir tanpa pemilik disepanjang jalur Amahami hingga Areal Lawata, tidak kurang 30an motor tiap malam minggu. Itu belum termasuk yang datang dan pergi silih berganti.

Beda lagi dengan Lawata. Menurut penelusuran Tim Investigasi, Lawata adalah tempat yang paling aman jika ingin mesum hingga melakukan hubungan Intim. Jika anda sudah letih berkeliling dan ingin melepaskan penat dengan pasangan, cukup anda bawa uang Rp 20.000, masuk ke dalam meliwati penjagaan dan katakan bahwa anda ingin ‘Paket 20 ribu’, maka penjaga akan paham dan ditunjukan tempat khusus, hingga anda merasa cukup. Jika anda ingin ‘paket 10 ribu’ maka lokasinya agak sedikit terbuka dan hanya bisa sekedar “meraba” atau “mengecup”, namun bila anda hanya bayar Rp 2.000, anda akan diberi tempat yang dekat dengan keramaian atau yang bercahaya, namun masih dilokasi dalam areal Lawata.
Beda lagi bila konvoi malam minggu para remaja Bima yang diakhiri di Dantraha, tempat dimana Raja Pertama Bima (Indra Jamrud) dilantik dan disumpah. Tempat bagi 3 Sultan Bima (Sultan Salahudin, Sultan Ibrahim dan Sultan Abdul Kahir II) bersemayam abadi (Makam). Kini, ditempat ini, jika malam minggu menjelang tengah malam, ramai para muda mudi menyisihkan waktunya disini. Tempatnya cukup nyaman dan aman karena tidak ada listrik yang menyinari. Semuanya beradu dalam pekatnya malam dan gelapnya suasana. Yang ada hanya lampu petak sang penjual kopi lesehan. Sesekali terdengar suara canda tawa para pasangan muda mudi dan desahan-desahan yang menggoda dari balik semak maupun dari bilik kegelapan. Tiada yang tahu apa yang sedang terjadi, hanya suara yang bisa didengar. Tiada yang peduli, hanya bisik-bisik yang menyertai. Setelah itu, ya, bubar tanpa kata dan tanpa sapa. Dunia tak ramah lagi, wabah duka berselimut kelam.
“Mereka anak siapa? Mereka saudari siapa?” Kalimat yang selalu menyapa bisikan. Bima kita kini sungguh berbeda dengan Bima kita dulu. Semuanya seakan-akan terjadi dalam proses pem-biar-an atas apa yang sedang menggejala. Para birokrasi Nampak menutup mata atas ‘gejolak negatif’ yang dipertontonkan oleh kawula muda mudi Dana Mbojo. Begitupun para penggiat kajian moral, hanya mampu pada ranah-ranah spekulasi peng-kambing hitam-an. Lebih-lebih MUI (Majelis Ulama Indonesia), hanya mampu berkutik depan media cetak tanpa berupaya melakukan tindakan tegas sesuai dengan aturannya.
Para orang tua pun begitu percaya dengan prilaku anaknya yang sedang menginjak ‘masa bimbang’ masa dimana kembimbangan berlaku, antara hasrat mencoba dan menerima konsekwensi atau bertahan dan tetap dianggap ‘kampo’ (kampungan). Semuanya, bergantung kita, para abang-abang dari mereka yang sudah mulai jauh keluar ke dasar prilaku yang moralis. Karakter sosial masyarakat Dana Mbojo 5 – 10 tahun yang akan datang dapat dinilai, dimaknai dan dipahami dari prilaku generasi saat ini. Lantas, apakah kita tetap membiarkan ‘membara’ hingga azab mendekati? Atau hanya sekedar memberi symbol ‘miris’ setelah mengetahui gejala yang sedang menggejolak saat ini? Mudah-mudahan, kita mampu menjadi kelompok minoritas yang menyelamatkan peradaban kehidupan anak cucu kita kedepan ….. (Bersambung)